Oleh : Muhammad Ali Husein
Kepala Departemen Kajian dan Strategis KAMMI Kathoza
2013
Ide segar yang dibawa oleh Effendi Ghazali, Ph.D. (Pakar
Komunikasi Politik) dan Prof. Yusril Ihza Mahendra (Pakar HTN) kini menjadi
formula baru dalam nestapa stagnasi pemilu Indonesia. Gagasan segar ini adalah pemilu serentak bagi
pemilu Legislatif dan pemilihan Presiden. Tren ini dibilang baru bagi rakyat
Indonesia setelah 10 pemilu yang pernah diadakan di Republik ini, tak ada
satupun pemilu yang dilaksanakan serentak untuk pemilihan Legislatif dan
Presiden. Dari akumulasi pemilu yang sudah-sudah, publik mengalami kegamangan
politik, jenuh, cemas, dan resah dengan stagnasi pemilu Indonesia.
Yang menjadi determinasi publik dalam keresahan
politiknya adalah Capres yang ditawarkan adalah wajah-wajah lama, wajah-wajah
yang sudah pernah maju di bursa Capres pemilu 2004 dan 2009. Tak hanya itu,
partai besarnya juga berputar di lingkaran itu-itu saja; PDIP, Golkar, Demokrat.
Sedangkan sisanya partai-partai tengah ; Gerindra, Nasdem, Hanura, PKB, PPP,
PKS, PAN, dan partai kecil; PBB, PKPI. Dua pemilu terakhir menjadi potret
nyata bagaimana parpol teratas hanya berputar di lingkaran tiga parpol besar,
hanya saja posisinya yang saling bertukar. Capres yang ditawarkan pun itu-itu
saja; SBY, ARB, Megawati, Wiranto, Prabowo. Seolah menjadi tontonan kolosal
publik bahwa Republik ini miskin pemimpin. Tak ada wajah baru yang ditawarkan
di pemilu hingga dinamika yang dihasilkan kurang menggairahkan.
Anomali ini bukan tanpa sebab, ternyata stagnasi Capres
yang ditawarkan bergerak linear dengan sistem pemilu yang sudah-sudah. Lihat
saja mekanisme Presidential Threshold dalam UU Pilpres tahun 2008, Presidential Threshold yang merupakan ambang batas pengajuan Capres
seringkali menghambat Kader parpol untuk maju dalam kontestasi bursa Capres RI
di Pilpres. Kader parpol yang berniat maju dalam kontestasi bursa Capres RI
harus memiliki keterwakilan parpolnya di Parlemen minimal 20%. Ini yang membuat
banyak Kader parpol yang berniat maju, namun terganjal dengan mekanisme Presidential
Threshold dalam UU Pilpres. Mungkin mekanisme ini tak masalah dengan
parpol-parpol besar, karena banyak kursi yang mudah diraih di Parlemen hingga
memudahkan parpolnya lolos dalam Presidential Threshold, namun bagi
parpol tengah dan kecil, ini merupakan nestapa peradaban yang harus dilawan.
Hal ini dibuktikan dengan makin sedikitnya Capres yang
berhasil masuk kontestasi bursa Capres RI di Pilpres yang sudah-sudah. Pemilu
2004 menawarkan 5 pasang Capres, namun karena UU Pilpres 2008 mengharuskan
mekanisme Presidential Threshold dinaikan menjadi 20%, menjadikan Pipres
2009 hanya menawarkan 3 pasang Capres. Nestapa ini menjadi momok yang harus
dirubah oleh bangsa ini jika ingin Republik ini dipimpin oleh pemimpin yang
segar, yang berani tampil dengan wajah baru. Karakter politik yang
ke-Indonesia-an sangat dibutuhkan agar mampu menghadirkan kewibawaan negara
akibat negara sering absen dalam pusaran konflik yang terjadi di Nusantara.
Pemilu serentak merupakan ide segar baru yang ditawarkan
demi merubah stagnasi pemilu Indonesia. Formula ini dimajukan demi menghindari
blunder politik yang tidak mampu menawarkan wajah baru dalam opsi kepemimpinan
Indonesia. Pemilu serentak dirancang untuk menghapuskan Presidential
Threshold dalam mekanisme Pilpres. Karena selama ini Presidential
Threshold-lah yang menghambat kader-kader terbaik parpol untuk maju dalam
kontestasi bursa Capres RI dikarenakan tidak tercapainya ambang batas 20% di
Parlemen. Dengan pemilu serentak, maka mekanisme Presidential Threshold
tidak berlaku lagi karena dengan serentaknya pemilu maka tidak ada tolak ukur
dalam menilai kualifikasi ambang batas di Parlemen.
Selain itu, dinamika kontestasi Capres jadi semakin
menggairahkan, kader parpol yang awalnya tidak bisa maju menjadi Capres karena
tidak mencapai ambang batas 20% di Parlemen, kini bisa maju mewakili parpolnya
karena pemilu serentak meniadakan mekanisme keterwakilan minimal di Parlemen.
Sistem pemilu serentak ini dengan kata lain meruntuhkan kasta dalam parpol,
parpol yang awalnya bisa dikategorikan sebagai parpol besar, tengah, dan kecil
karena keterwakilannya di Parlemen, kini menjadi sama dihadapan pemilu serentak
karena semua parpol bisa memajukan kader-kader terbaiknya menjadi Capres tanpa
hambatan. Capres yang ditawarkan menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Publik
pun punya 'selera' sendiri dalam memilih Capres di pemilu yang jelas-jelas
menawarkan wajah baru calon pemimpin Indonesia.
Pemilu serentak juga meminimalisir koalisi antar parpol.
Selama ini parpol melakukan koalisi untuk mencapai ambang batas keterwakilan di
Parlemen agar bisa memenuhi syarat untuk memajukan Capres. Kini parpol tak
perlu repot-repot melakukan koalisi yang secara evaluasi malah banyak
menimbulkan perpecahan di dalamnya. Papol tengah dan kecil yang selama ini
sulit memajukan Capres karena tak lolos ambang batas keterwakilan di Parlemen
kini bisa pamer kader parpolnya ke publik sebagai wajah baru calon pemimpin Indonesia.
Justru koalisi parpol dianggap aneh di sistem Presidensil, karena koalisi hanya
dikenal di sistem Parlementer yang konsentrasinya di Parlemen. Namun dengan
adanya multipartai menyebabkan terjadinya koalisi parpol yang harusnya hanya
ditemukan di sistem Parlementer. Jika pemilu tak dibuat serentak, maka bisa
menimbukan sistem koalisi parpol yang sejujurnya merupakan hal ambivalen,
mendua dalam Presidensil dan Parlementer.
Jika Republik ini merindukan penyegaran pemilu, inilah
saatnya, pemilu serentak menawarkan banyak Calon Presiden yang bisa dipilih
sesuai selera rakyat. Bukan lagi penyempitan jumlah Capres karena banyak yang
tak lolos ambang batas Parlemen. Sudah saatnya Republik ini menemukan kembali
karakter politiknya yang ke-Indonesia-an, yang berani menjadi risk-taker,
berani tampil dengan wajah berbeda, dan memiliki banyak ragam positioning
sehingga menaikkan suhu politik Republik ini.
Karena perubahan itu adalah conditio sine quo non
(keniscayaan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar