Siapa merasa
detik-detik itu dengan halus menggerogoti satuan masa. Meniupkan lalai di atas
kesadaran manusia yang tak siaga. Kaki dan tangan ini semakin gaduh, riuh
mempersiapkan penyambutan calon-calon cendekiawan yang akan segera bergabung.
Menyumbang jejak bersama kaum yang memperjuangkan idealisme. Membangun mimpi
besar peradaban yang Allah titipkan.
Bulan Juni...
Siapa yang tidur dibangunkan. Yang malas diberi semangat. Yang tak berwawasan
diberi ilmu. Sema hidup, bergerak, aktif menyambut momentum besar. Dan akupun
masuk dalam daftar orang-orang yang dibangunkan tanpa mengetuk pintu ijinku
terlebih dahulu. Karena kata mereka, ini adalahkewajiban. Ya kewajiban!!!
“Kita harus
menyusun strategi. Mahasiswa baru adalah target besar dakwah kita untuk
merekrut kader sebanyak-banyaknya.”
Suara itu
lantang memekakkan telinga. Mendesak tembok-tembok kokoh ruang sempit yang terpencil. Diam-diam,
sebongkah daging yang terlindung dada mulai membisikkan tanya?
“Apakah aku
dulu juga bagian dari target mereka? Apakah dakwah berarti merekrut kader? Bukankah tujuan
utama dakwah itu mengajak orang berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar?
Haruskah menjadi kader untuk menjadi orang baik? Atau memang harus menjadi
kader dahulu untuk disebut orang baik? Bagaimana nasib orang yang tidak menjadi
kader?
Aku bingung
dengan kebingungan yang aku ciptakan sendiri. Mungkin aku yang kurang cerdas
menangkap pemahaman di bawah sadar. Ku bujuk hati agar diam, tenang. Kusumbat
mulut agar tak berucap suara sumbang. Diam dan ikuti saja karena aku bagian
yang tak tahu apa-apa. Aku hanyalah anak bawang dalam dakwah ini.
Jingga sudah
menggantung di ujung barat langit. Kekasih memangil syahdu melalui corong-corong atap masjid yang bertebaran. Aku memandang
sekitar. Tak ada yang berkutik, tak ada yang bereaksi. Bahkan seseorang masih lantang berbicara di depan
menjelaskan strategi dakwah yang tidak aku pahami. Banyak kata-kata asing yang
tidak bisa aku terjemahkan. Hatiku kembali berkecamuk menyongsong gundah yang
semakin membumbung.
“Ya Rabb...
Kami berikrar bahwa kami bekerja untuk-Mu. Namun kami sama sekali tak menghiraukan panggilan-Mu. Aku
bingung. Aku sungguh tak tahu. adakah
toleransi untuk kasus seperti ini? Ibu pasti marah kalau aku tidak segera
datang saat beliau memanggil. Apakah
Engkau juga akan murka? Ya Rabb... ampuni aku. Ampuni aku yang tak berilmu.”
Aku tetap diam
meski mulut sudah gatal untuk
bergumam. Pembahasan konsep akhirnya rampung. Teknis telah siap dilaksanakan.
Kertas putih telah dihias ribuan warna yang begitu indah, dengan untaian kata
yang menjinakkan jiwa, menyentuh hati. Rambut dicukur rapi. Jilbab wangi
menjuntai anggun menutupi setiap lekuk yang begitu berharga. Menghias diri
dengan sekuntum senyum yang menawan dan tutur kata yang halus. Inilah strategi
untuk menarik massa. Menjerumuskan generasi-generasi culun itu pada lautan
kebaikan.
Aku harus
bagaimana? Aku terlanjur terjerumus dan aku pun mulai menyelesaikan amanahku
tanpa tahu. Aku belum mengerti mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Tapi
mereka seakan menyeret paksa tubuh ini untuk ikut bergerak.
Lama aku
membisu. Jejak-jejak ini lahir penuh tanda tanya dan prasangka. Tiba di suatu
masa otak mengarahkanku
memfungsikan semua
indra. Hingga rasa ingin tahu ini bermuara pada satu kesimpulan. Dakwah ini
palsu penuh kepura-puraan! Kebaikan yang mereka tawarkan hanya untuk menarik
manusia-mannusia culun itu. Kata manis yang terumbar hanyalah retorika tanpa
nyata. Ketulusan itu mengukir penuh paksa.
Ada gemuruh
getaran jiwa. Ada dentuman emosi yang menggelegar. Marah. Kecewa. Sedih.
Rasa-rasa itu sangat membuatku tidak nyaman. Bagaimana mungkin aku terdampar di
gurun gersang kebohongan sedang aku mencari sepercik air penghilang dahaga
jiwa. Monster-monters itu berdiri tegak di belakang wajah peri yang begitu
teduh dan tulus. Senyum mereka belati yang menyayat luka hati. Menghilangkan
harapan bertemu cahaya.
‘Sentuhlah
hati dengan hati’ yang selama ini diagung-agungkan hanya sekedar rumus. Dakwah hanyalah kedok
aktor-aktor amatiran yang ingin
mengangkat namanya. Aku kecewa. Aku ingin lari. Sekedar sadar, aku ini manusia
bodoh yang tak mengerti bahwa
setiap manusia punya kepentingan. Tak terkecuali manusia-manusia yang menandai
dirinya aktivis dakwah kampus pada mantel-mantel yang menenggelamkan tubuhnya.
Aku murka. Namun pada
siapa? Pada otak yang tumpul ini? Itu tidak adil karena ia juga hanya korban
jiwa-jiwa kerdil yang menarikku pada sandiwara mereka.
Aku menggugat
pada aktivis dakwah kampus yang bergerak atas nama dakwah yang begitu suci.
Sebenarnya apa yang kalian lakukan? Aku melihatnya hanya sebagai ajang bermain
tanpa keseriusan. Terpajang bagai panggung sandiwara yang sempurna. Kalian
tersenyum dibalik keluh. Menyimpan
umpatan di balik kata sesejuk embun. Menebar harapan yan kalian sendiri tak memahaminya.
Aku muak. Aku
ingin menghilang dari peredaran semu ini. Keluar dari proyek pembuatan barisan
panjang yang sebenarnya keropos tanpa kepahaman. Membebaskan jiwa yang
terpasung perintah rahasia. Bergerak bagai robot tak berotak dengan dalih ke-tsiqah-an.
Aku menggugat
di batas kesabaran. Curang!!! Tiba-tiba sang bijak mengetuk hati untuk membela
mereka. Aku gelisah.
“Nak, jika mau
mencari, banyak sekali celah dan kurang dalam dakwah ini. Itu mengapa Allah
kirimkan engkau ke tengah mereka untuk membantu menutupi celah tersebut.”
“Tapi kenapa
mereka harus seperti itu. Kalau memaang belum baik mengapa berpura-pura baik?
Kenapa harus berpura-pura dihadapan orang yang tidak mengerti apa-apa?”
“itulah
keterbatasan. Kalau kita menunggu semua kita baik, apakah kau ingin menyaksikan kehidupan ini
sebelum kita berbuat apa-apa? Tenangkan hatimu dalam mengingat yang baik-baik.
Tidak ingatkah engkau bahwa merekalah yang mengulurkan tangan untuk membantumu
menemukan hidayah-Nya. Lupakah engkau berapa waktu yang mereka habskan hanya
untuk menunggumu datang dan menyampaikan ilmu sederhana yang sering kau abaikan?”
“Sungguh...
aku masih mengingatnya. Tak ada yang hilang dari memoriku sedikitpun tentang
itu.”
“Lalu mengapa
engkau masih menyia-nyiakan
waktumu mengurusi hal kecil seperti itu?”
“Aku tidak
menganggapnya hal kecil. Kekecewaan itu akan menoreh luka yang terus membekas.
Kau tahu? Bahkan mereka sendiri tidak bisa mempertanggungjawabkan ilmu
sederhana yang mereka sampaikan kepadaku. Itu membuatku sangat kecewa dan sulit
menerima ilmu darinya.”
“Jangan
sekali-kali berfikir mereka berani menyampaikan karena mereka sudah benar-benar
baik 100% akhlaqnya. Mereka sama seperti dirimu. Belajar. Bedanya, mereka
mempunyai kesempatan untuk mengenal belajar lebih dahulu. Dan kini mereka
memperkenalkannya kepadamu. Tak ada gunanya menggugat. Engkau telah menjadi
bagian dari mereka. Menggugat mereka sama halnya menggugat dirimu sendiri. Hanya pengecut yang bisanya hanya
mencari celah tanpa bisa menutupnya.”
“Lalu apa yang
bsa aku lakukan? Aku hanyalah bagian bawah yang terinjak oleh tugas-tugas yang
tak kumengerti.”
“Itu hukum
alam, anakku. Bukankah kehidupanmu juga dimulai dari bayi yang tidak bisa apa-apa? Waktu itu
bergulir bergantung bagaimana
kamu memanfaatkannya. Belajarlah sebelum amanah semakkin memburumu dan
menuntutmu menjadi manusia tidak biasa. Hanya ilmu yang membuat adik-adikmu
tidak merasakan kekecewaan yang engkau rasakan. Kuatkanlah aqidah agar kau
tegar berada di jalan ini dengan istiqamah. Nikmatilah setiap ibadah karena itu
yang akan membawamu
pada nikmatnnya taman surga. Hiasilah dirimu dengan akhlaq yang akan memikat
saudar-saudaramu hingga kebaikan itu akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang
begitu banyak.”
“Lalu apakah
dakwah itu harus berdiri di atas sandiwara? Aku benar-benar tidak mengerti
bagaimana bisa kita menyampaikan kebenaran dengan tipu daya?”
“Itu bukan sandiwara, Nak. Kau
tahu, betapa beratnya usaha mereka
untuk bisa melakukannya? Ingatlah mereka bukan bagian dari malaikat yang selalu
berdzikir tanpa celah.
Mereka bukan Rasulullah yang memiliki kemuliaan sempurna. Mereka manusia
seperti dirimu yang harus tertatih merapikan diri hingga orang senang berada di
dekatmu. Tentu tidak
asing bagimu merasakan sulitnya tersenyum saat lelah. Tapi mereka melakukannya
untuk menyambutmu menuju kucuran hidayah-Nya. Hanya orang-orang yang mencintai
Allah dan saudaranya yang mau merapat pada barisan ini.”
“Nak, ayo
bangkit. Bantulah saudaramu menebar kebaikan dan kemuliaan Islam. Sumbangkan
tangan dan bahumu untuk
memikul secuil amanah dari Tuhanmu. Rajutlah cinta kasih dalam lingkaran-lingakaran ukhuwah yang kokoh. Dan
tangan ini terus bertaut hingga singgah di Jannah-Nya. Tersenyumlah Nak...
sambut seruan ini dengan kelapangan hati. Jangan melihat ke kanan atau ke kiri
karena janji Allah itu pasti. Mulailah dari dirimu sendiri untuk memperbaiki
keadaan yang ada.”
Bagaimana aku bisa begitu bodoh. Ternyata
jiwa ini yan sebenarnya kerdil. Pengecut, melemparkan tanggung jawab perbaikan
ini pada saudara-saudara
yang begitu menyayangiku. Tak tahu diri, melupakan kebaikan hanya karena
keburuan yang mungkin juga
bersarang dalam diriku.
Berlari aku
memaksa kaki-kaki lemah ini menuju barak-barak peraduan yang sempit untuk sebuah pengakuan. Kutinggalkan sang
bijak karena untaian maaf telah menggatung di ambang mulut yang terkatup.
Saudara-saudaraku... maafkan mulut lancang yang berkata tanpa ilmu ini. Maafkan
hati yang tak pernah berhenti mengumpat. Ya, aku mengerti. Dakwah bukan kalian,
bukan juga aku. Tapi kita dalam dekapan ukhuwah. Saling mengisi celah untuk
sebuah perbaikan. Biarlah... biarkan jemari ini saling terpaut sampai pada
indahnya taman syurga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar