Rabu, 27 November 2013

AKU MENGGUGAT



Siapa merasa detik-detik itu dengan halus menggerogoti satuan masa. Meniupkan lalai di atas kesadaran manusia yang tak siaga. Kaki dan tangan ini semakin gaduh, riuh mempersiapkan penyambutan calon-calon cendekiawan yang akan segera bergabung. Menyumbang jejak bersama kaum yang memperjuangkan idealisme. Membangun mimpi besar peradaban yang Allah titipkan.
Bulan Juni... Siapa yang tidur dibangunkan. Yang malas diberi semangat. Yang tak berwawasan diberi ilmu. Sema hidup, bergerak, aktif menyambut momentum besar. Dan akupun masuk dalam daftar orang-orang yang dibangunkan tanpa mengetuk pintu ijinku terlebih dahulu. Karena kata mereka, ini adalahkewajiban. Ya kewajiban!!!
“Kita harus menyusun strategi. Mahasiswa baru adalah target besar dakwah kita untuk merekrut kader sebanyak-banyaknya.”
Suara itu lantang memekakkan telinga. Mendesak tembok-tembok kokoh ruang sempit yang terpencil. Diam-diam, sebongkah daging yang terlindung dada mulai membisikkan tanya?
“Apakah aku dulu juga bagian dari target mereka? Apakah dakwah berarti merekrut kader? Bukankah tujuan utama dakwah itu mengajak orang berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar? Haruskah menjadi kader untuk menjadi orang baik? Atau memang harus menjadi kader dahulu untuk disebut orang baik? Bagaimana nasib orang yang tidak menjadi kader?
Aku bingung dengan kebingungan yang aku ciptakan sendiri. Mungkin aku yang kurang cerdas menangkap pemahaman di bawah sadar. Ku bujuk hati agar diam, tenang. Kusumbat mulut agar tak berucap suara sumbang. Diam dan ikuti saja karena aku bagian yang tak tahu apa-apa. Aku hanyalah anak bawang dalam dakwah ini.
Jingga sudah menggantung di ujung barat langit. Kekasih memangil syahdu melalui corong-corong atap masjid yang bertebaran. Aku memandang sekitar. Tak ada yang berkutik, tak ada yang bereaksi. Bahkan seseorang masih lantang berbicara di depan menjelaskan strategi dakwah yang tidak aku pahami. Banyak kata-kata asing yang tidak bisa aku terjemahkan. Hatiku kembali berkecamuk menyongsong gundah yang semakin membumbung.
“Ya Rabb... Kami berikrar bahwa kami bekerja untuk-Mu. Namun kami sama sekali tak menghiraukan panggilan-Mu. Aku bingung. Aku sungguh tak tahu. adakah toleransi untuk kasus seperti ini? Ibu pasti marah kalau aku tidak segera datang saat beliau memanggil.  Apakah Engkau juga akan murka? Ya Rabb... ampuni aku. Ampuni aku yang tak berilmu.”
Aku tetap diam meski mulut sudah gatal untuk bergumam. Pembahasan konsep akhirnya rampung. Teknis telah siap dilaksanakan. Kertas putih telah dihias ribuan warna yang begitu indah, dengan untaian kata yang menjinakkan jiwa, menyentuh hati. Rambut dicukur rapi. Jilbab wangi menjuntai anggun menutupi setiap lekuk yang begitu berharga. Menghias diri dengan sekuntum senyum yang menawan dan tutur kata yang halus. Inilah strategi untuk menarik massa. Menjerumuskan generasi-generasi culun itu pada lautan kebaikan.
Aku harus bagaimana? Aku terlanjur terjerumus dan aku pun mulai menyelesaikan amanahku tanpa tahu. Aku belum mengerti mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Tapi mereka seakan menyeret paksa tubuh ini untuk ikut bergerak.
Lama aku membisu. Jejak-jejak ini lahir penuh tanda tanya dan prasangka. Tiba di suatu masa otak mengarahkanku memfungsikan semua indra. Hingga rasa ingin tahu ini bermuara pada satu kesimpulan. Dakwah ini palsu penuh kepura-puraan! Kebaikan yang mereka tawarkan hanya untuk menarik manusia-mannusia culun itu. Kata manis yang terumbar hanyalah retorika tanpa nyata. Ketulusan itu mengukir penuh paksa.
Ada gemuruh getaran jiwa. Ada dentuman emosi yang menggelegar. Marah. Kecewa. Sedih. Rasa-rasa itu sangat membuatku tidak nyaman. Bagaimana mungkin aku terdampar di gurun gersang kebohongan sedang aku mencari sepercik air penghilang dahaga jiwa. Monster-monters itu berdiri tegak di belakang wajah peri yang begitu teduh dan tulus. Senyum mereka belati yang menyayat luka hati. Menghilangkan harapan bertemu cahaya.
‘Sentuhlah hati dengan hati’ yang selama ini diagung-agungkan hanya sekedar rumus. Dakwah hanyalah kedok aktor-aktor amatiran yang ingin mengangkat namanya. Aku kecewa. Aku ingin lari. Sekedar sadar, aku ini manusia bodoh yang tak mengerti bahwa setiap manusia punya kepentingan. Tak terkecuali manusia-manusia yang menandai dirinya aktivis dakwah kampus pada mantel-mantel yang menenggelamkan tubuhnya. Aku murka. Namun pada siapa? Pada otak yang tumpul ini? Itu tidak adil karena ia juga hanya korban jiwa-jiwa kerdil yang menarikku pada sandiwara mereka.
Aku menggugat pada aktivis dakwah kampus yang bergerak atas nama dakwah yang begitu suci. Sebenarnya apa yang kalian lakukan? Aku melihatnya hanya sebagai ajang bermain tanpa keseriusan. Terpajang bagai panggung sandiwara yang sempurna. Kalian tersenyum dibalik keluh. Menyimpan umpatan di balik kata sesejuk embun. Menebar harapan yan kalian sendiri tak memahaminya.
Aku muak. Aku ingin menghilang dari peredaran semu ini. Keluar dari proyek pembuatan barisan panjang yang sebenarnya keropos tanpa kepahaman. Membebaskan jiwa yang terpasung perintah rahasia. Bergerak bagai robot tak berotak dengan dalih ke-tsiqah-an.
Aku menggugat di batas kesabaran. Curang!!! Tiba-tiba sang bijak mengetuk hati untuk membela mereka. Aku gelisah.
“Nak, jika mau mencari, banyak sekali celah dan kurang dalam dakwah ini. Itu mengapa Allah kirimkan engkau ke tengah mereka untuk membantu menutupi celah tersebut.”
“Tapi kenapa mereka harus seperti itu. Kalau memaang belum baik mengapa berpura-pura baik? Kenapa harus berpura-pura dihadapan orang yang tidak mengerti apa-apa?”
“itulah keterbatasan. Kalau kita menunggu semua kita baik, apakah kau ingin menyaksikan kehidupan ini sebelum kita berbuat apa-apa? Tenangkan hatimu dalam mengingat yang baik-baik. Tidak ingatkah engkau bahwa merekalah yang mengulurkan tangan untuk membantumu menemukan hidayah-Nya. Lupakah engkau berapa waktu yang mereka habskan hanya untuk menunggumu datang dan menyampaikan ilmu sederhana yang sering kau abaikan?”
“Sungguh... aku masih mengingatnya. Tak ada yang hilang dari memoriku sedikitpun tentang itu.”
“Lalu mengapa engkau masih menyia-nyiakan waktumu mengurusi hal kecil seperti itu?”
“Aku tidak menganggapnya hal kecil. Kekecewaan itu akan menoreh luka yang terus membekas. Kau tahu? Bahkan mereka sendiri tidak bisa mempertanggungjawabkan ilmu sederhana yang mereka sampaikan kepadaku. Itu membuatku sangat kecewa dan sulit menerima ilmu darinya.”
“Jangan sekali-kali berfikir mereka berani menyampaikan karena mereka sudah benar-benar baik 100% akhlaqnya. Mereka sama seperti dirimu. Belajar. Bedanya, mereka mempunyai kesempatan untuk mengenal belajar lebih dahulu. Dan kini mereka memperkenalkannya kepadamu. Tak ada gunanya menggugat. Engkau telah menjadi bagian dari mereka. Menggugat mereka sama halnya menggugat dirimu sendiri. Hanya pengecut yang bisanya hanya mencari celah tanpa bisa menutupnya.”
“Lalu apa yang bsa aku lakukan? Aku hanyalah bagian bawah yang terinjak oleh tugas-tugas yang tak kumengerti.”
“Itu hukum alam, anakku. Bukankah kehidupanmu juga dimulai dari bayi yang tidak bisa apa-apa? Waktu itu bergulir bergantung bagaimana kamu memanfaatkannya. Belajarlah sebelum amanah semakkin memburumu dan menuntutmu menjadi manusia tidak biasa. Hanya ilmu yang membuat adik-adikmu tidak merasakan kekecewaan yang engkau rasakan. Kuatkanlah aqidah agar kau tegar berada di jalan ini dengan istiqamah. Nikmatilah setiap ibadah karena itu yang akan membawamu pada nikmatnnya taman surga. Hiasilah dirimu dengan akhlaq yang akan memikat saudar-saudaramu hingga kebaikan itu akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang begitu banyak.”
“Lalu apakah dakwah itu harus berdiri di atas sandiwara? Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa kita menyampaikan kebenaran dengan tipu daya?”
“Itu bukan sandiwara, Nak. Kau tahu, betapa beratnya usaha mereka untuk bisa melakukannya? Ingatlah mereka bukan bagian dari malaikat yang selalu berdzikir tanpa celah. Mereka bukan Rasulullah yang memiliki kemuliaan sempurna. Mereka manusia seperti dirimu yang harus tertatih merapikan diri hingga orang senang berada di dekatmu. Tentu tidak asing bagimu merasakan sulitnya tersenyum saat lelah. Tapi mereka melakukannya untuk menyambutmu menuju kucuran hidayah-Nya. Hanya orang-orang yang mencintai Allah dan saudaranya yang mau merapat pada barisan ini.”
“Nak, ayo bangkit. Bantulah saudaramu menebar kebaikan dan kemuliaan Islam. Sumbangkan tangan dan bahumu untuk memikul secuil amanah dari Tuhanmu. Rajutlah cinta kasih dalam lingkaran-lingakaran ukhuwah yang kokoh. Dan tangan ini terus bertaut hingga singgah di Jannah-Nya. Tersenyumlah Nak... sambut seruan ini dengan kelapangan hati. Jangan melihat ke kanan atau ke kiri karena janji Allah itu pasti. Mulailah dari dirimu sendiri untuk memperbaiki keadaan yang ada.”
Bagaimana aku bisa begitu bodoh. Ternyata jiwa ini yan sebenarnya kerdil. Pengecut, melemparkan tanggung jawab perbaikan ini pada saudara-saudara yang begitu menyayangiku. Tak tahu diri, melupakan kebaikan hanya karena keburuan yang mungkin juga bersarang dalam diriku.
Berlari aku memaksa kaki-kaki lemah ini menuju barak-barak peraduan yang sempit untuk sebuah pengakuan. Kutinggalkan sang bijak karena untaian maaf telah menggatung di ambang mulut yang terkatup. Saudara-saudaraku... maafkan mulut lancang yang berkata tanpa ilmu ini. Maafkan hati yang tak pernah berhenti mengumpat. Ya, aku mengerti. Dakwah bukan kalian, bukan juga aku. Tapi kita dalam dekapan ukhuwah. Saling mengisi celah untuk sebuah perbaikan. Biarlah... biarkan jemari ini saling terpaut sampai pada indahnya taman syurga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar