Minggu, 07 April 2013

Rekam Jejak Peta Politik Nasional 1999 – 2013, Penasaran?



Oleh  : Muhammad Ali Husein
            Kadept Kastrat Kathoza 2013

Justifikasi historisitas akan perubahan peta politik nasional 1999 - 2013 membuat dekorasi perdebatan intelektual antar partai semakin memanas. Bagaimana tidak, transfigurasi kekuatan dan elektabilitas paspol kerap berubah sepanjang perhelatan politik di Pemilu tersebut. Partai Golkar yang selama Orba menguasai pemilih ekstentif selama rezim totalitarian tersebut spontan tergantikan dengan kekuatan PDIP, yang kala itu menjelmakan Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden setelah sebelumnya MPR melengserkan Abdurrahman Wahid dari kursi Presiden. Kala itu peta politik mayoritas berada pada tangkup kekuasaan PDIP hingga tahun 2004.

Pemilu 2004 berkata lain, berdasarkan data LSI (Lembaga Survey Indonesia) mengemukakan bahwa elektabilitas PDIP anjlok dari 34% menjadi 18,5% pada Pemilu 2004. Sedangkan pihak oposan mainstream -Golkar- kembali memiliki elektabilitas tertinggi dengan 22% meskipun turun dari elektabilitasnya pada Pemilu 1999 yang berhasil meraih 23%. Namun hal ini tetap menjadikan Golkar sebagai pemegang haluan peta politik nasional.

Ada dua partai yang tanpa di terka akan naik justru menempati suara signifikan yaitu Partai Demokrat (7,4%) dan PKS (7%). Meskipun Presiden Indonesia kala itu dimenangi oleh SBY yang berasal dari demokrat, namun tangkup peta politik mayoritas tetaplah berada di genggaman Golkar.

2009 berkata lain, Golkar yang semula menyandang tangkup kekuasaan kini tergantikan oleh Partai Demokrat yang berhasil memperoleh suara teringgi serta berhasil kembali memegang pos kepemimpinan nasional yang kala itu kembali ditempati oleh SBY. Sedangkan Golkar yang pada Pemilu 2004 berhasil meraup suara sebesar 22% anjlok pada suara 14%, demikian juga PDIP.

Tiga Pemilu di Indonesia 1999, 2004, dan 2009 memberikan kesaksian rakyat Indonesia bahwa peta politik nasional selalu berganti haluan, Pemilu 1999 disandang oleh PDIP dengan perolehan suara terbanyak, namun berganti dengan Golkar pada Pemilu 2004, namun hal itupun tak berlangsung lama setelah pada Pemilu 2009 haluan pos kepemimpinan nasional berhasil disandang oleh Demokrat. Akan tetapi, Pemilu 2014 pun boleh jadi peta politik nasional akan kembali berpindah haluan, hal ini didukung dengan pasca pemilu 2009 frame negatif akan Partai Demokrat semakin menurun berjalan beriringan dengan kasus Century pada 2009 dan Nazaruddin pada 2011 silam.

Penilaian negatif rakyat yang merupakan representasi realitas berhasil menjadi tema pertikaian seru akan perubahan haluan politik nasional di Pemilu 2014 nanti. Sikap intoleran absolutisme terhadap partai pemenang Pemilu 2009 itu kerap mendasari mobilitas penolakan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan partai. Hal ini pun mampu memberikan desain perubahan peta politik nasional di Pemilu 2014.

Februari 2012 menjadi dalil kenyataan bahwa bangsa Indonesia masih terbuka akan perubahan. Lembaga Survey Indonesia kembali melakukan Survey kekuatan elektoral terhadap Parpol yang nantinya akan bersaing ketat di Pemilu 2014. Perubahan signifikan pun terjadi, Golkar menempati urutan pertama dengan raupan 15,5% yang menggeser Demokrat pada urutan kedua dengan 13,7%. Urutan ketiga pun ditempati oleh PDIP dengan capaian 13,6%. Ini adalah hasil konstelasi politik nasional Indonesia jika Pemilu diadakan pada tahun 2012, namun entah dengan Pemilu 2014.

Kenyataan bahwa bangsa Indonesia selalu terbuka akan perubahan dibuktikan dengan 3 Pemilu terakhir dengan menempatkan partai-partai bereda yang menguasai peta politik nasional. Tinggal menunggu Pemilu 2014 yang sangat sarat akan kemungkinan bahwa peta politik nasional akan kembali bergeser dengan dukungan penurunan tingkat elektoral, berkat kasus-kasus yang menimpa partai pemenang Pemilu 2009 tersebut.          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar