Rabu, 17 April 2013

FEMINISME, GENDER, DAN EMANSIPASI KARTINI


Oleh : Suryani
Staf Ahli Bidang Pemberdayaan Wanita Kastrat KAMMI Kathoza 2013
Keadilan dan kesetaraan gender adalah salah satu konsep yang dibawa oleh gerakan feminisme. Gerakan feminis sendiri bermula pada abad pertengahan Eropa, dimana keadaan masyarakat pada saat itu berada di bawah tekanan kekuasaan dari gereja. Perempuan diposisikan sebagai makhluk yang tidak sempurna, sumber segala dosa laki-laki, dan kedudukannya yang hanya sebatas “pelayan”. Tidak ada hak politik dan ekonomi yang dapat memeberi kesempatan pada perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebagaimana yang ditulis oleh Tertullian (150M) sebagai Bapak Gereja pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita sebagai berikut :
“Wanita yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan mebuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan.”
St John Chrysostom (345M-407M) seorang bapak Gereja bangsa Yunani berkata :
“Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketika beruntungan yang cantik.”
Sehingga muncul beberapa aktivis pembela kebebasan perempuan diantaranya adalah Lucretia mott dan Elizabeth Cady Stanton yang menghasilkan sebuah konvensi hak-hak perempuan pada 1848 di Seneca falls. Karena, pada saat itu hampir di seluruh wilayah kondisi perempuan berada dalam keprihatinan, gerakan feminis mempunyai tempat tersendiri dan berkembang dengan jumlah massa yang besar serta menyebar tidak hanya di wilayah Eropa bahkan sampai ke Asia termasuk Indonesia. feminis secara umum menggolongkan pembedaan jenis kelamin menjadi tiga yaitu, feminim, maskulin, dan satu jenis yang bersifat berubah-ubah sesuai dengan ketertarikan pribadi (trans seksual).
Dasar pemikiran feminis terbagi menjadi tiga gelombang:
1. Mengusung isu tentang hak-hak politik dan kesetaran ekonomi bagi wanita (1792).
2. Bertambah dengan isu perkawinan, peran ibu, hubungan-hubungan seksual. Secara garis besar menginginkan suatu perubahan besar yang radikal dalam kehidupan pribadi, ekonomi, dan politik (1949).
3. Women in diversity (keberagaman perempuan), ini adalah kritik pada feminis gelombang kedua karena, tidak mewakili seluruh ras dan hanya ras eropa yang dapat merasakannya (1980).
Jika berbicara tentang konsep Gender dan feminis di Indonesia, pasti mengacu pada gerakan emansipasi wanita kartini pada akhir abad 18 dan awal 19 (1879-1904). Pemikiran Kartini tentang perempuan Indonesia pada saat itu melalui kumpulan surat-suratnya dengan Zehandelaar menjelaskan tentang kondisi perempuan pribumi yang sulit mendapat akses ke dalam dunia pendidikan karena pengaruh adat istiadat jawa pada khususnya. Seperti kutipan suratnya ini:
“Aduh, tiadalah tahu betapa sedihnya, jatuh kasih akan jaman muda, jaman baru, jamanmu, kasih dengan segenap jiwa, sedangkan tangan dan kaki terikat, terbelenggu, pada adat istiadat dan kebiasaan negeri sendiri, tiada mungkin meluluskan diri dari ikatannya. Dan adat kebiasaan negeri kami sungguh-sungguh bertentangan dengan kemauan jaman baru, jaman baru yang saya inginkan masuk kedalam masyarakat kami…”.
Dalam surat tersebut  jelas menunjukan bahwa, adat istiadatlah yang menjadi penghalang emansipasi bukan Agama. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan konsep feminisme yang menganggap Agama merupakan penyebab ketertindasan kaum perempuan. Kaum feminis merasa bahwa para pemuka agama dan kaum laki-laki adalah  pemimpin yang patriarki dan menggunakan tafsir kitab suci (agama bangsa Eropa/Nasrani). untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki diatas perempuan. Sikap inilah yang menjadi awal pergerakan para feminis sebagai reaksi atas siakap represif gereja terhadap perempuan yang menjadikan mereka berpikiran dan mengembangkan paham relativitas, dimana suatu hal bisa salah atau benar, baik atau buruk tergantung pada siatuasi dan kondisi yang melingkupi sebuah peristiwa atau kejadian. Akhirnya mereka buang jauh-jauh konsep keyakinan pada agama.
Konsep feminisme dengan pengertian tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dimana Islam memuliakan wanita dengan beberapa surat khusus yang membahas wanita (surat annisa, Maryam, tahrim, talaq dll) yang jelas didalamnya mengandung pengangkatan derajat wanita di dalam Islam dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini dipahami oleh R.A Kartini dengan surat yang dikirim yang intinya menuntut persamaan hak dalam pendidikan. Sebagaimana kita pahami Al umm al madrosatul ula. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju apabila para wanitanya tidak memami pendidikan dengan baik. Hal ini berarti perlu kita pahami bersama bahwa R.A Kartini  menekankan pentingnya pendidikan bagi seorang perempuan karena perempuan adalah tonggak pertama pendidikan bagi anak-anaknya. Kartini mengakui adanya peran penting seorang wanita sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya tanpa harus mengejar sesuatu yang bersifat materialistis dan irasional.
Indonesia sebagai sebuah  negara yang berlandaskan UUD 45 dan Pancasila yang dilandasi akan filosofi keyakinan terhadap agama, maka sudah seharusnya semua kebijakan harus menggunakan asas yang membawa aspek agama termasuk didalamnya tentang RUU KKG. Sangt disayangkan dalam RUU KKG BAB II  tentang asas dan tujuan tidak tercantum Agama, sehingga dikhawatirkan pada akhirnya paham feminis yang jelas-jelas membuang agama secara tidak sadar masuk dalam sistem pemerintahan dan kemasayarkatan kita.

RATU DUNIA
Miss World adalah sebuah ajang pencarian wanita yang memiliki kesempurnaan tubuh dan “intelektualitas” bertaraf internasional. Dalam semangat awal pembuatan event ini adalah sebagai sebuah variety show di BBC, Inggris 1959. Pada awal penyelenggaraanya, kontes ini hanya menampilkan kemolekan tubuh yang berlenggak-lenggok di atas panggung. Namun, pada tahun 1970 an terdapat protes dari aktivis feminis pada saat acara mereka melempari tepung, kotoran dan batu sebagai bentuk protes pada acara tersebut karena, dilatarbelakangi oleh bisnis wanita. Karena kejadian tersebut, pada 1980an persyaratan miss world tidak hanya kesempurnaan bentuk tubuh namun ditambah dengan kecantikan pribadi dan kecerdasan (beauty with purpose). Apakah hal ini membantu peningkatan penonton pada acara ini? Pada kenyataannya, masyarakat inggris dimana berlaku sebagai founding fathers acara ini malah menilai acara ini sebagai acraa yang membosankan dan tidak menarik serta old-fashioned sehingga 5 chanel memberhentikan tayangan ini pada 1998. Sebagai calon “tuan rumah” Miss World ke-65 yang akan dilaksanakan pada bulan September mendatang, mengapa Indonesia harus bangga dan menyiapkan segala Sesutu untuk menyambut event yang bahkan dalam masyarakat Eropa sudah tidak menarik lagi karena alasan menarik wisatawan? Apakah dengan adanya pemilihan miss world dengan segala persyaratannya yang materialistis akan mengangkat derajat perempuan? Apakah miss world dengan “kecantikan,dan kecerdasan” dapat memberikan andil yang besar bagi negara? Jawabannya adalah TIDAK. Selama perjalannanya, ajang ini adalah sebuah ajang bisnis perempuan terselubung dimana ada beberapa fakta dan skandal tentang perempuan-perempuan dunia ini diantaranya, adalah, hamil diluar nikah, pengguna obat-obat terlarang, wanita simpanan dll. Bahkan dari perwakilan MUI muhyidin junaedi juga telah menolak diadakannya ajang ini di Indonesia karena tidak sesuai dengan norma bangsa dang agama. Sebagai negara dengan jumlah ummat muslim terbesar di Dunia dan negara dengan prinsip menjunjung tinggi moral dan adab, akankan kita terus saja berdiam diri pada ideology, kebiasaan yang tidak sesuai dengan nilai bangsa Indonesia serta lahir dari ketidak tahuan mereka pada Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar