Minggu, 28 April 2013

Kurikulum Indonesia Layak, Kata Siapa??



Oleh : Nurul Liza
Staf Ahli Bidang Pendidikan dan Sosial Budaya Kastrat KAMMI Kathoza 2013
Kurikulum 2013 yang rencananya akan diterapkan di bulan Juli mendatang, hingga kini masih menjadi bahan perdebatan. Hal tersebut terjadi karena banyak pihak yang menganggap bahwa kurikulum tersebut belum siap dan juga masih terdapat banyak kekurangannya.
Kurikulum santer disebut sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan. Namun seorang pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Romo Mardiatmadja, berpendapat bahwa kurikulum 2013 akan menghasilkan generasi rapuh, karena peran guru dalam kurikulum ini tidak tampak. Guru di sini hanya menjadi seorang tentor yang beracuan pada buku babon. Hal ini menunjukkan bahwa nilai yang terkandung dalam kurikulum 2013 belum sesuai dengan fungsi dari kurikulum itu sendiri.
Dari berbagai pendapat pemerhati dan pelaku pendidikan, terdapat beberapa kekurangan dalam isi kurikulum 2013, yaitu:
1.         Kurikulum 2013 mengandung kompetensi inti dan kompetensi dasar yang tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh pemerintah. Romo Benny Susetyo, seorang pemerhati pendidikan berpendapat bahwa “Kami sudah lihat dokumen resminya dan berdasarkan dokumen resmi ini kami meminta menunda karena isinya saling bertolak belakang." Berdasarkan hal tersebut, ia pun berpendapat bahwa kurikulum ini masih belum siap untuk diterapkan, sehingga harus ditunda dulu.
2.         Kebelumsiapan kurikulum ini juga dapat dilihat dari respon para pendidik. Menurut Jimmy Paat, salah satu dosen UNJ dan aktivis Sekolah Tanpa Batas, mengatakan bahwa para guru bingung dalam memahami dan mengimpletasikan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang terdapat dalam kurikulum 2013. Pendapat Jimmy ini dudukung oleh rekannya, Hartini Nara yang berpendapat bahwa untuk mengubah cara berfikir guru itu tidak mudah, tidak hanya sekedar dengan pelatihan asal-asalan.
3.         Berlandaskan filsafat elektisisme
Kurikulum 2013 menggunakan dasar filsafat elektisisme, yaitu filsafat yang pada dasarnya memilih yang terbaik dari berbagai pendekatan, menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok sama sekali dijadikan satu mozaik tersendiri yang tidak memiliki konsisten dalam pemikiran. Pendekatan ini dianggap tidak cantik karena menggabungkan hal-hal kompleks yang tidak jelas. Doni Kusuma A, seorang pengamat pendidikan, menyatakan bahwa:
 “Pilihan filsafat eklektik tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan pilihan jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam  persoalan; mulai dari pilihan materi pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik!”
Pernyataannya ini didasari oleh salah satu bunyi kompetensi dasar yang tertulis dalam kurikulum 2013, yang menyatakan bahwa “Menunjukkan perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai secara efektif dengan memerhatikan nilai tempat ratusan, puluhan, dan satuan.”
4.         Ketidakjelasan anggaran yang akan digunakan. Anggaran yang dibuat untuk kurikulum 2013 masih belum ada kejelasan, karena terdapat dua dokumen anggaran yang berbeda. Menurut Raihan Iskandar, anggota Panja kurikulum komisi X DPR RI, dalam anggaran kurikulum tercantum Rp 631,4 miliar, namun dalam APBN adalah Rp 751,4 miliar. Selain itu, untuk anggaran pelatihan guru pun terdapat perbedaan anggaran. Dalam anggaran kurikulum 2013, untuk anggaran pelatihan guru tercatat sebesar Rp 1.094.55.974.000 dan anggaran pelatihan adalah Rp 1.095.74.64.000. Namun, dari sumber lain, Siti Juliantri Rachman, seorang peneliti ICW, mengatakan bahwa “Anggaran pertama diumumkan Rp 684 miliar, selanjutnya naik jadi Rp 1,4 triliun, dan terakhir jadi Rp 2,49 triliun” hal ini ia katakan rawan korupsi jika tetap diterapkan, karena kenaikan anggaran ini berubah begitu cepat.
Berdasarkan dari data-data diatas, kini banyak pihak berpendapat bahwa kurikulum 2013 tidak boleh diterapkan, atau bisa diterapkan, namun tidak untuk saat ini. Kurikulum 2013 bisa tetap diterapkan apabila isinya sudah diperbaiki, mengingat bahwa selama ini Indonesia sudah sering bergonta-ganti kurikulum, namun hasilnya masih belum bisa dibilang memuaskan. Kurikulum KBK (2004) diganti begitu saja karena beranggapan bahwa KTSP(2006) bisa menjadi penawar penyakit pendidikan di Indonesia, namun pada kenyataannya KTSP belum mampu menjadi penawar yang mujarab.
Pemerintah mengganti KBK menjadi KTSP dengan alasan bahwa  kurikulum ini memberi kewenangan kepada guru untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi dimana mereka mengajar, baik dari potensi sekolahnya juga potensi local disekitarnya. Namun pada kenyataannya banyak guru yang lebih memilih berpanduan pada buku yang ditulis oleh konsultan pendidikan, padahal apa yang terdapat dalam buku panduan tersebut bisa saja sukses di suatu sekolah, namun belum pasti berhasil di sekolah lain. Alhasil produk yang dihasilkan pun tidak sesuai seperti yang diharapkan, banyak sekolah gagal menerapkan kurikulum ini. Alasan kegagalan inilah yang akhirnya membuat Mentri Pendidikan, Muhamad Nuh, berinisiatif untuk mengganti KTSP dengan Kurikulum 2013.
Sebenarnya, menurut saya penggantian kurikulum itu sah-sah saja, namun pihak yang berwenang di sini juga harus bisa melihat kondisi sasarannya. Seperti tidak lucu jika seorang bayi langsung diberi makan nasi, semua harus bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi. Jika memang KBK dan KTSP diganti karena memiliki kekurangan, maka seharusnya kita bisa melihat dan mengoreksi dimana letak kekurangannya, sehingga ketika ada pergantian kurikulum baru, kurikulum ini dapat membawa dampak yang memang baik untuk kemajuan pendidikan di tanah ini. Karena guru dan siswa selaku pengonsumsi dari produk kurikulum bukanlah kelinci yang bisa dijadikan percobaan. Mereka adalah meanusia bebas yang memiliki keinginan tuk meraih masa depan yang cerah. Lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan masa depan yang cerah apabila pendidikan yang mereka dapatkan bukanlah pendidikan yang mendidik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar