BONGKAR KEDAULATAN ENERGI INDONESIA!!

Oleh : Muhammad Ali Husein
Kadept Kastrat KAMMI Kathoza 2013
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.” (Pasal 33 (3) UUD 1945).
Energi adalah sebuah entitas
vital dalam kehidupan bernegara. Sebuah determinan yang akan memberikan
efek domino pada aspek-aspek lainnya. Keberadaanya dianggap fundamental
sebagai salah satu penentu kemakmuran rakyat karenanya secara prinsip
dimasukkan ke dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Hal itu untuk menegaskan
bahwa keberadaan kekayaan alam berupa energi sudah sepatutnya dikuasai
oleh Negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.
Sumber daya energi yang dimiliki oleh sebuah Negara merupakan kekayaan
esensial dan strategis, khususnya minyak migas (bumi dan gas). Karena
migas merupakan bahan dasar aktifitas sehari-hari, tidak ada yang bisa
bekerja tanpa migas. Energi migas digunakan sebagai bahan bakar
kendaraan, aktifitas dapur rumah tangga, dan kegiatan lain yang
merupakan kegiatan keseharian seluruh manusia. Konsumsi energi di
Indonesia tiap tahunnya pun selalu meningkat, terutama konsumsi BBM
sebagai bahan bakar kendaraan.
BBM terdiri dari tujuh jenis
yaitu avtur gasoline (avgas), avtur, mogas (motor gasoline), minyak
tanah (mitan), minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar. Avtur
gasoline dan avtur adalah bahan bakar pesawat terbang. Sementara mogas
atau motor gasoline sering kita kenal dengan bensin. Minyak tanah, dulu
sebelum konversi minyak tanah ke LPG banyak digunakan sebagai bahan
bakar memasak oleh rumah tangga. Sebagian lagi digunakan oleh industri.
Sedangkan minyak solar dan minyak diesel digunakan juga untuk kendaraan
yang bermesin diesel. Adapun minyak bakar lebih digunakan oleh
industri-industri besar yang sering kali juga digunakan sebagai energi
alternatif bagi industri menengah. (Septin Puji Astuti).
Tingkat Konsumsi Energi di Indonesia
Berdasarkan data statistik minyak bumi dari Kementerian ESDM (Energi
dan Sumber Daya Mineral), pada tahun 2005 tingkat konsumsi migas atau
yang dikenal dengan bahan bakar kendaraan bermotor sebesar 101.867 juta
barel minyak. Namun pada tahun 2011 silam tingkat konsumsi migas
melonjak menjadi 165.308 juta barel minyak. Data dari Kementerian ESDM
ini membuktikan bahwa konsumsi energi di Indonesia tiap tahunnya selalu
meningkat.
Melonjaknya konsumsi energi migas tiap tahunnya
disebabkan karena peningkatan jumlah kendaraan transportasi di Indonesia
yang menurut data dari BPS (Badan Pusat Statistik) selalu bertambah.
Pada 2005 jumlah mobil penumpang, bis, truk, dan kendaraan bermotor
sebanyak 37.623.432 buah, sedangkan pada tahun 2011 meningkat menjadi
85.601.351 buah. Hal ini mengakibatkan naiknya konsumsi energi migas dan
berpengaruh pada tingkat kebutuhan energi migas di Indonesia per
tahunnya yang juga berdampak pada tingkat ekspor impor migas. Timbul
pertanyaan besar mengapa Indonesia harus mengimpor energi jika negaranya
mempunyai sumber daya (resource) energi? Hal ini pun menjadi penting
untuk dibahas.
Komparasi Energi dengan Negara Petro Dollar
Padahal, jika kita mengkomparasikan dengan Negara-negara penghasil
minyak yang besar di dunia, justru kedaulatan energi adalah hal yang
paling utama. Arab Saudi merupakan Negara dengan harga BBM termurah ke 5
di dunia dengan mematok harga USD 0,12/liter, yang jika di rupiahkan
harganya hanya mencapai Rp 1.404. Hal senada pun diterapkan oleh
Venezuela yang merupakan Negara dengan harga minyak termurah di dunia.
Negara ini mematok BBM pada kisaran USD 0,05 yang jika dirupiahkan
harganya hanya Rp -585.
Negara-negara tersebut menyadari bahwa
memberinka subsidi yang besar terhadap BBM merupakan bentuk awalan yang
menciptakan konsumsi tinggi dalam masyarakat. Namun Negara-negara
tersebut menyadari bahwa dengan memberikan subsidi BBM yang besar di
dalam negaranya maka hal itu bisa menekan biaya produksi dalam industri,
ketika biaya produksi bisa ditekan maka harga produk yang dihasilkan
pun murah. Lain halnya jika subsidi BBM sedikit, biaya produksi akan
naik karena bahan dasar industrinya membutuhkan BBM, jika biaya produksi
naik, maka harga barang yang dihasilkan pun akan naik, jika tidak
diimbangi dengan naiknya pendapatan masyarakat, maka biaya
menyengsarakan rakyat.
Wajah Asli Energi di Indonesia
Ada beberapa alasan yang penting untuk diketahui mengapa Indonesia yang
merupakan Negara penghasil energi migas namun masih banyak melakukan KKS
(Kontrak Kerja Sama) dengan perusahaan asing untuk pengelolaan Hulu dan
Hilir Migas. Tak hanya itu, ternyata Indonesia masih melakukan impor
minyak besar-besaran, hal ini dibuktikan dengan diimpornya 77.963.403
barel dari Negara-negara asing pada tahun 2012. (Ditjen Migas, status
update : Desember 2012). Didasari data-data tersebut, penting kiranya
mengetahui kedaulatan energi migas di Indonesia.
Pertama,
Selama ini rakyat Indonesia salah kaprah tentang ketersediaan migas di
negaranya. Berdasarkan data dari Prof.Ir. Doddy Abdassah M.Sc., Ph.D,
Guru Besar Teknik Reservoir ITB, terungkap bahwa sumber daya energi di
Indonesia sampai tahun 2011 mencapai 70 miliar barel. Namun itu hanya
sebatas sumber daya (resource), sedangkan cadangan energi yang sudah
terbukti (proven reserve) hanyalah 4,2 miliar barel dan cadangan energi
terbukti di dunia jauh melampaui itu, yakni sebesar 1,24 triliun barel.
Hal ini berarti ketersediaan migas di Indonesia yang dikategorikan
sebagai cadangan terbukti barulah mencapai 0,34% dari total cadangan
energi terbukti di dunia. Selama ini rakyat Indonesia salah kaprah yang
menganggap bahwa Indonesia kaya akan migas, namun sebenarnya salah
mengerti akan ketersediaan resources yang diasumsikan sebagai proven
reserve.
Selain itu, lifting (produksi minyak) minyak mentah
sekarang ini hanya berkisar antara 830.000-870.000 barel oil per hari
(target hingga tahun ini 900.000 barel oil per hari). Lifting tersebut
masih jauh untuk memenuhi konsumsi nasional yang mencapai 1,4 juta barel
oil per hari, hingga akhirnya negara diharuskan impor dari luar negri.
Untuk gas sendiri lifting kita tahun ini diprediksi dapat mencapai 1,36
juta barel setara minyak (Badan Kebijakan Fiskal RI, 2013).
Kedua, Menurut data BP Migas (sebelum dibubarkan MK) tahun 2012, dari
seluruh ladang migas di Indonesia, sebanyak 88% ladang migas dikuasai
oleh Perusahaan Asing, 4% dikuasai oleh konsorsium yang melibatkan
Perusahaan Asing, dan 8% dikuasai oleh BUMS Nasional dan BUMN. Tak
berhenti sampai disitu, menurut Direktur Eksekutif Mubyarto Institute
dan Wakil Ketua ISEI Yogyakarta, penguasa migas di Indonesia terbagi
menjadi tiga kategori, pertama disebut Super Major yang terdiri dari
perusahaan Exxon Mobile, Total, Fina, Elf, Bp Amoco, Arco, dan Texaco
yang menguasai 70% cadangan minyak dan 80% gas. Kategori kedua disebut
Major yang terdiri dari Canoco, repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier,
Lasmo, Inpex, Japex, dan Petronas yang menguasai 18% cadangan minyak
dan 15% gas. Yang ketiga adalah independen, yang menguasai 12% cadangan
minyak dan 5% gas.
Ketiga, Indonesia sebagai Negara yang
memiliki ladang minyak besar namun tidak memiliki kilang minyak untuk
mengolah minyak olahan, sehingga menjadikan Singapura sebagai makelar
minyak Indonesia. Minyak yang sudah digali Indonesia dijual ke Singapura
yang memiliki kilang untuk proses refinery dan distilasi minyak. Lalu
hasilnya minyak tersebut dijual lagi kepada Indonesia. (Tumiran, anggota
Dewan Energi Nasional).
Alasan-alasan itulah yang membuat
kedaulatan migas di Indonesia tidak sepenuhnya dikuasai Negara,
data-data tersebut pun membuktikan bahwa ada pencideraan terhadap amanah
UUD 1945 yang mengharuskan kekayaan energi sepenuhnya dikuasai oleh
Negara. Padahal, penulis beranggapan energi merupakan salah satu suatu
variable penentu dalam kedaulatan, karena energi bisa dijadikan titik
duduk atau modal dalam bernegosiasi dengan engara lain, energi bisa
dijadikan sebagai posisi tawar dalam berdiplomasi. Itulah anggapan
penulis tentang kemaslahatan suatu kedaulatan energi.
Blok Mahakam Korban Selanjutnya?
Untuk membahas seluruh permasalahan energi di Indonesia dirasa cukup
kompleks, karena itu peneliti hanya membatasi pada permasalahan ladang
energi migas di Blok Mahakam, Kalimantan Timur. Seperti halnya
permasalahan Blok ONJW (Offshore North West Java), Blok Cepu, dan
permasalahan migas lainnya, permasalahan Blok Mahakam adalah
permasalahan yang penting untuk dibahas. Namun kiranya perlu data-data
yang mendukung akan pentingnya Blok Mahakam dari permasalahan migas yang
lain.
Permasalahan Blok Mahakam tak hanya menyangkut
permasalahan produksi migas, namun juga menyangkut permasalahan
kedaulatan energi di Indonesia. Permasalahan yang sedang hangat di
permukaan adalah tentang belum jelasnya siapa yang akan menjadi pemegang
saham Blok Mahakam setelah kontrak dengan perusahaan asing habis pada
tahun 2017 nanti. Ladang migas yang memasok 35% produksi gas nasional
tersebut memiliki kontrak kerjasama dengan Total E&P Indonesie dan
Inpex Ltd, kontraknya pun akan berakhir pada tahun 2017. Hingga kini
Menteri ESDM, Jero Wachik, masih belum menentukan siapa pengganti
pemegang saham Blok Mahakan pasca kontrak dengan perusahaan asing
tersebut berakhir.
Saham dari Blok Mahakam kini dimiliki oleh
perusahaan Total E&P Indonesie sebesar 50% sebagai operator dan
Inpex Ltd sebesar 50% sisanya. Menurut data eks BP Migas tahun 2010,
cadangan migas di Blok Mahakam sebesar 13,7 triliun kaki kubik (TFC)
dengan laju ekstraksi gas 0,6 TFC/tahun. Potensi migas di Blok Mahakam
hingga kini yang tersisa adalah 12,5 TFC, dan pada tahun 2017
diperkirakan memiliki sisa cadangan gas sebesar 10,1 TFC. Tak hanya itu,
asumsi harga jual gas 12 dolar AS/MMBTU (million british termal unit),
maka nilai ekonomis Blok Mahakam di 2017 mencapai 121,2 miliar dolar AS.
(Republika.co.id, 30 Januari 2013).
Permasalahan sebenarnya
dari Blok Mahakam adalah mengenai kedaulatan migas dan keuntungan
Indonesia yang didapatkan dari kerjasama dengan perusahaan asing
tersebut. Menurut Vice President Coordination Total E&P Indonesie,
Yoseph Gunawan, menuturkan bahwa perusahaan Total E&P Indonesia
mencakup laba bersih USD 10,416 miliar dari bagi hasil dan biaya
produksi (cost recovery) sebesar USD 15,715 miliar. Bagian yang didapat
Pemerintah sebesar USD 34, 934 miliar sedangkan modal perusahaan Total
E&P Indonesie hanya sebesar Rp 23 triliun/tahun. Hal ini sangat
timpang apabila dibandingkan dengan cost recovery yang dibayar Negara ke
perusahaan Total E&P Indonesie sebesar USD 15,715 (sekitar Rp 142
triliun).
Dengan potensi energi yang dimiliki Blok Mahakam,
Pemerintah seharusnya cerdas dalam memilih pemegang saham Blok Mahakam
pasca KKS dengan perusahaan asing selesai. Sudah saatnya dikembalikan
kepada Pertamina yang merupakan BUMN dalam bidang energi. Ingat, energi
merupakan determinan yang akan memberikan efek domino pada aspek lain
dalam bernegara.
Salam Negarawan!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar