Oleh
: Muhammad Ali Husein
Kadept Kasrat KAMMI Kathoza 2013
"Saya
enggak perlu diminta turun (sebagai pimpinan). Satu tahun enggak bisa apa-apa,
saya akan mundur," (Abraham Samad, saat fit and proper test 28 November 2011 di
ruang rapat Komisi III DPR)
Retorika
populis politik Abraham Samad berhasil menghegemoni pola berfikir publik akan
sebuah tesa yang memiliki implikasi
substansial dalam kinerja KPK. Bagaimana tidak, janji yang sudah lewat lebih dari
satu tahun tersebut mengalami sebuah dislokasi makna dan hanya menjadi
penghangat media dalam pemberitaan. Ya, Abraham Samad memang berjanji
menuntaskan kasus-kasus besar dalam waktu satu tahun kepemimpinannya, namun
hingga saat ini belum ada fakta empirik yang mendukung prakondisi-prakondisi
itu terjadi.
Kinerja
KPK yang merupakan manifestasi dari manuver sebuah janji Abraham Samad seakan
tereduksi dengan konstelasi politik, seolah kehilangan urgensi dan miskin
substansi, hal ini yang menjadi determinasi publik untuk bergerak tuntaskan perubahan dan menolak lupa terhadap kasus-kasus
korupsi yang masih diabaikan KPK.
Lihat
saja kasus-kasus mega skandal Century dan Hambalang, janji Abraham Samad seolah
direm oleh pihak istana. Kasus-kasus hukum yang bermuatan politis ini masih
belum menemukan titik terang sejak dilaporkan ke KPK pada tahun 2008 dan 2010
silam. Sarat akan muatan politis memang, karena indikasi keterlibatan menyeret
orang-orang istana, hingga lima tahun berjalan pelaku kasus ini masih belum
terungkap ke permukaan.
KPK
seolah pilih kasih dalam menangani kasus korupsi, kasus yang jelas-jelas
merugikan Negara -sebut saja Century- hingga Rp 6,7 Triliun ini tidak jelas
perkembangannya. Sedangkan kasus-kasus yang masih belum jelas merugikan Negara
malah di proses habis-habisan. Hangat di pemberitaan namun miskin prestasi
inilah yang mendasari determinasi publik untuk menurunkan kepercayaannya
terhadap lembaga superbody ini pada
bulan juli 2011 silam. Tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun dengan
jelas dari 58,3% pada tahun 2005 menjadi 41,6% pada tahun 2011.
Sikap
intoleran absolutisme kerap mendasari paradoks berfikir publik akan sikap-sikap
yang dibentuk KPK dalam menghadapi kasus-kasus korupsi. Dalam kasuistik ini
berlaku premis Michel Foucault, yang mengatakan “di mana ada kekuasaan, di sana ada perlawanan, dan perlawanan tersebut
tidak pernah berada eksternal dari relasi kekuasaan yang ada”. Meskipun
istana menyembunyikan, meskipun KPK terkekang kinerjanya karena hegemoni tirani
minoritas, publik akan tetap melawan, melawan dalam bentuk menolak lupa!.
#Nb
: Berikut daftar kasus korupsi yang masih belum dituntaskan KPK, diantaranya :
- Kasus Century tahun 2008 yang melibatkan Istana, indikasi kerugian Rp 6,7 Triliun.
- Kasus Hambalang tahun 2010, indikasi kerugian Rp 2,5 Triliun
- Kasus Korupsi CSR Pertamina pada tahun 2008-2009, indikasi uang mengalir ke Partai Demokrat Rp 600 Miliar.
- Kasus korupsi Hartati di JIEC dan Bank Mandiri, indikasi kerugian Rp 1,5 Triliun.
- Kasus korupsi proyek eKTP tahun 2011 di Kemendagri, indikasi kerugian Rp 3,5 Triliun.
- Kasus korupsi PT. Antam dalam penyerobotan lahan oleh Harita Grup yang rugikan negara 19 Triliun
- Kasus korupsi pajak Bakrie Group bersama Gayus.
- Kasus korupsi rekening gendut Jenderal Polri.
- Kasus korupsi pengadan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM.
- Kasus korupsi Mafia Anggaran DPR yang dilaporkan Wa Ode Nurhayati, indikasi kerugikan Rp 7,7 Triliun.
- Kasus korupsi PLN yang terindikasi melibatkan Dahlan Iskan, kerugian PLN mencapai Rp36,7 Triliun, indikasi kerugian Rp 36,7 Triliun.
- Kasus korupsi penyerobotan lahan tambang PT. Bukit Asam yang dilaporkan mantan Menkumham Patrialis Akbar, indikasi kerugian Rp 6 Triliun.
- Kasus korupsi pengadaan gerbong kereta api dari Jepang yang disebut-sebut melibatkan Hatta Rajasa.
- Kasus korupsi impor daging sapi pada tahun 2013.
- Dan kasus-kasus korupsi lainnya yang kini sudah tenggelam di media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar