By. Titi Rahmawati (Staf Kastrat KAMMI KOMISARIAT THORIQ bin ZIyad)
Negara memiliki beberapa tugas penting diantaranya yaitu, berkewajiban melindungi warga negaranya serta memberikan setiap hak yang patut diperoleh oleh seluruh masyarakat. Salah satu cara Negara memenuhi hak warga negaranya adalah dengan memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat. Lalu apakah yang dimaksud dengan pelayanan publik, jika itu memang salah satu tugas Negara, apakah hanya Negara yang berhak memberikannya, kemudian bagaimanakah cara agar Negara dapat memberikan pelayanan public secara maksimal.dan apa hubungan antara administrasi Negara dengan kajian pelayanan publik Inilah beberapa rumusan masalah yang sengaja saya susun agar kita dapat mengetahui lebih lanjut fenomana pelayanan public yang terjadi saat ini, khususnya di Indonesia.
Indonesia merupakan perpaduan Negara hukum dan Negara kesejahteraan, hal ini didukung oleh konsep Aminuddin Ilmar (2004:5), beliau menjelaskan bahwa bahwa peran Negara tidak hanya terbatas penjaga ketertiban semata seperti halnya dalam konsep nachtwakerstaat , akan tetapi Negara juga dimungkinkan untuk ikut serta dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Menurut saya disinilah konsep pelayanan public muncul dimana pemerintah (Negara) mencoba merasuk kedalam setiap sendi kehidupan masyarakat, seperti yang telah dituangkan dalam UUD’1945 guna memenuhi kebutuhan setiap warga negaranya.
Secara singkat pelayanan diartikan oleh Ivancevich,Lorenzi, Skinner, dan Crosby (1997:448) sebagai produk-produk yang tidak kasat mata yang melibatkan usuha-usaha manusia yang menggunakan peralatan. Lalu menurut KEMENPAN No.63/2000, secara keseluruhan menjelaskan bahwa pelayanan public tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat namun juga sebagai wujud mematuhi peraturan perundang-undangan. Contohnya ada ketetapan baru yang mengharuskan penduduk Indonesia memiliki E-KTP, maka pemerintah( Negara) menyelenggarakan pelayanan tersebut. Kebutuhan masyarakat bukannya tidak berkembang, sejalan dengan perkembangan waktu, banyak hal yang menuntut perbaikan terkait soal kualitas dan juga pihak-pihak yang menjadi stakeholders pelayanan public.
Dalam hal ini pelayanan public yang dipandang sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi) yang semula memiliki orientasi birokrasi sudah selayaknya berubah kepada orientasi konsumen. Inilah yang dijelaskan sebagai konsep empowering terhadap para pengguna pelayanan public sebagai gerakan penyadaran hak-hak konsumen atau gerakan yang memperjuangkan pelayanan public yang berkualitas, (Abdul Wahab 1997;1998). Jadi, kualitas suatu peleyanan yang diberikan melalui pemerintah ditentukan oleh nilai-nilai yang diberikan oleh masyarakat sebagai konsumen atau the truly user of public served. Bukan direkayasa oleh pihak pemerintah.
Sebenarnya konsep pelayanan public masa kini telah mencapai tahapan dimana dalam prosesnya selalu berusaha untuk menghindarkan kebohongan public (rekayasa birokrasi) serta monopoli yang kerap dilakukan oleh Negara, namun dalam kenyataan pengimplementasiannya selalu ada penyimpangan disana-sini. Misalnya saja dalam pemberian hak pelayanan terhadap konsumen, birokrasi malah sering mengambil kesempatan tersebut sebagai ladang subur pendapatan tambahan dengan mempersulit prosedur administrasi disetiap rantai birokrasi. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah fenomena high cost economy yang disebabkan oleh merajalelanya kartel, monopoli, favoritisme, praktik standard ganda dan pungutan yang bernuansa resmi hingga setengah resmi. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan hakikat pelayanan public yang diartiakn sebagai pemberian pelayanan prima (kemampuan terbaik) dari aparatur atau instansi pemerintahan sabagai wujud pengabdian kepada masyarakat luas. Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditangkap sebuah makna, bahwa pemerintah bukanlah pihak sentral yang menentukan seluruh proses pelayanan public mulai dari pemberian hingga penentuan hasil akhir, namun peran masyarakat tentu sangat besar sebagai wujud pemberdayaan serta pengontrolan.
Kemudian setelah mengetahui orientasi pelayanan public yang berkembang, munculah suatu pertanyaan baru yang mungkin telah saya singgung pada awal pembahasan, bagaimana efektivitas pelayanan public dapat diciptakan. Menurut salah satu sumber referensi yang say abaca, efektivitas pelayanan public dapat diraih jika struktur organisasi (birokrasi bersifat desentralisasi tidak sentralistik, sedangkan budaya birokrasinya harus berisi mengenai kemampuan, memiliki legalitas kepentingan dan keterkaitan kepentingan. Hal ini jelas menggambrakan usaha untuk menyambut keberagaman kebutuhan masyarakat sehingga pemerintah memerlukan bidang-bidang baru (desentralisasi) yang dapat menangani hal tersebut dengan koordinasi yang baik antar bidang. Manfaat dari desentralisasi struktur itu adalah :
1. Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan antara organisasi pusat dan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dibawah.
2. Melakukan efisiensidan penghematan alokasi keuangan.
3. Mengurangi jumlah staff atau aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan menengah (prinsip rasionalisasi).
4. Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan.
Selain factor-faktor diatas Malcom Walters (1994) menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan kegagalan pemberian pelayanan public adalah karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi didalam budaya masyarakatnya yang bersifat hierarkis, iidividual, fatalis dan egaliter. Yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pelayanan public yang modelnya birokratis sangat cocok untuk diterapkan dalam masyrakat yang memiliki budaya hierarkis.
2. Pelayanan public yang modelnya privatisasi sangat cocok diterapkan dalam masyarakat yang memiliki budaya individual (anti hierarkis).
3. Pelayanan public yang modelnya kolektif sangat cocok untuk diterapkan dalam masyrakat yang memiliki budaya fatalis (mendukung budaya hierarkis dan anti budaya individu.
4. Pelayanan public yang memerlukan pelayanan cepat dan terbuka sangat cocok untuk diterapkan dalam masyrakat yang memiliki budaya egaliter (anti budaya hierarkis, fatalis dan individual).
Setelah ada pengklasifikasian yang jelas, maka tugas kita selanjutnya adalah mengidentifikasi Indonesia sebagai jenis masyarakat dengan kebudayaan seperti apa. Menurut saya Indonesia bukanlah masyarakat dengan budaya hierarkis, karena penolakan masyarakat terhadaop masa orde baru yang terkenal sangat sentralistk, juga bukan masyarakat memiliki budaya individual, diamana inisiatif dalam mengambil peluan usaha masih sangat kecil. Indonesia juga bukan merupakan Negara yang masyarakatnya memiliki budaya fatalis karena usaha untuk mandiri (tidak bergantung kepada tangan pemerintah) selalu dikembangkan, hal ini diwujudkan dalam semangat wirausaha yang berkembang dari waktu ke waktu. Jadi, kesimpulannya menurut saya Indonesia tergolong pada msyarakat yang memiliki budaya egaliter yang memerlukan pelayanan cepat dan terbuka.
Pembahasan yang terakhir adalah menjawab pertanyaan apakah pelayanan public merupakan produk teori administrasi Negara yang merupakan konsep dari bagian administrasi pembangunan sebagai wujud reformasi birokrasi. Sedangkan dari beberapa literature menyebutkan bahwa pelayanan public lebih dikenala sebagai tatana konsep daripada tatana teori (thoha;1992 ; Munafe;1996 ; Djumara;1994 ; Hardjosoekarso, Kristiadi, dan Saragih; 1994). Lalu Fred W Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran metodologi penelitian administrasi, yaitu :
1. Pendekatan normative kependekatan empiris
2. Pendekatan ideografik kependekatan nomotetik
3. Pendekatan structural kependekatan ekologi
4. Pendekatan behavioral ke pendekatan post-behavioral (analogi).
Menurut saya, konsep ataupun teori wujud dari sebuah pelayanan public yang diberikan oleh instansi ataupun aparatur pemerintahan , hal yang paling terpenting adalah kebutuhan masyarakat yang dapat terpenuhi, ini berarti efektifitas yang dapat dicapai dengan kualitas yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar