Jumat, 22 April 2011

Menari di Atas Pelangi :Pergulatan Politik Kaum Muda Mendobrak Demokrasi Transaksional Menuju Kepemimpinan Transformasional

Oleh : Firman Nugraha

Sudah kita pahami bersama bahwa kaum muda memegang peran vital dalam dinamika kehidupan bangsa dan negara. Sejarah Indonesia adalah sejarah kaum muda dengan segala pergulatannya.Sejak era pergerakan kemerdekaan tercatat banyak tokoh muda pergerakan yang dengan kucuran keringat dan darahnya memberikan perubahan yang signifikan sebagai harapan besar rakyat indonesia saat itu. kita kenal tokoh - tokoh heroik yang memulai pergerakannya sejak muda diantaranya Soekarno,M Hatta, M Natsir ,dan Sjahrir pula tokoh wanita seperti R.A Kartini dan Cut Nyak Dien yang begitu dikagumi tentunya oleh bangsa sendiri maupun dunia atas heroismenya meretas kemerdekaan Indonesia. walaupun hidup ditengah gejolak kekuasaan koloni yang pada gilirannya menjadikan rakyat Indonesia memperoleh porsi hidup yang tak layak tetapi justru keadaan seperti itu memacu jiwa muda mereka untuk mengadvokasi ketidakadilan yang menimpa bangsanya. Langkah – langkah strategis pun mereka lakukan sejak masa mudanya dengan tergopoh – gopoh memanfaatkan segala kemungkinan yang diyakininya dapat menunjang pencapaian cita besarnya. Salah satunya dengan memanfaatkan kebijakan etis koloni yang kemudian memberikan celah bagi mereka untuk mengenyam bangku akademik ala Eropa . Dalam masa mudanya mereka memilih berlarut – larut dalam buku – buku pelajaran pun pemikiran, menghabiskan waktu di perpustakaan, berdiskusi dan berorganisasi yang merupakan “kawah canda di muka” yang pada gilirannya menghasilkan negarawan – negarawan sejati yang disegani.
Tulisan ini tentunya tidak akan secara konsent menceritakan romantika pergerakan nasional pemuda era ’28 , ’45, ’66 atau ‘98 tetapi akan lebih berbagi (sedikit) mengenai pergulatan politik pejuang muda Indonesia era reformasi sekarang ini dalam mendobrak kejumudan berbangsa dan bernegara di tengah atmosfir politik pragmatis dan transaksional untuk mewujudkan kepemimpinan muda yang progresif transformasional.
Tentunya patut tetap kita syukuri apapun kondisi yang sekarang kita alami di negeri ini karena setidaknya dalam perjalanan sejarah bangsa kita pernah tertoreh cerita kejayaan bangsa baik sejak manusia indonesia berlindung pada kerajaan maupun sampai berdirinya instutusi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga aneka warna dinamika perpolitikan Indonesia telah memberikan khasanah pengalaman tersendiri untuk dapat menentukan arah dan sistem politik yang sesuai dengan jati diri manusia Indonesia.
Sekedar Refleksi
Pada awal – awal kemerdekaan konon politik Indonesia sangat dinamis dan idealis sekali, hal ini memang sudah sewajarnya mengingat para pelakunya adalah orang – orang yang benar – benar jujur memegang prinsip kenegarawanannya, terbukti dengan proklamasi kemerdekaan dan pembangunan pilar – pilar negara dan bangsa sebagai tindakannya. Uji-coba dan bongkar-pasang sistem kenegaraan pun cukup sering dilakukan dari mulai dasar negara (ideologi), sitem hukum, lembaga negara, infrastruktur politik, hingga sempat berubahnya bentuk negara yaitu menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan langkah mundur dalam pembangunan kehidupan bangsa Indonesia karena masuknya kembali Belanda yang ingin mengobok – obok Indonesia untuk ke sekian kalinya. Tapi, karena begitu progresifnya para pejuang Indonesia termasuk didalamnya adalah kaum muda telah mampu mengembalikan lagi kehormatan bangsa untuk bisa berdikari menatap masa depan. Karena itu tidak perlu menggunakan kata “konon“ lagi untuk suatu statement tentang torehan progresif kaum muda saat itu karena sudah terbukti dan kita rasakan sendiri hasilnya saat ini yaitu kita bisa berada di negara hasil perjuangannya. Kondisi represif dan gejolak politik yang datang baik dari dalam maupun luar negeri pada gilirannya semakin memuncakan idealime kenegarawanan kaum muda saat itu, pribadi – pribadi muda yang penuh tempaan ditengah iklim politik inklusif telah menelorkan banyak kader pemimpin nasional yang menawarkan kualitas kepemimpinan dalam rivalitasnya menuju kepemimpinan nasional.
Cerita politik selanjutnya yang mewarnai kanvas pergulatan bangsa ini adalah era orde baru sebagai pengganti setelah tumbangnya orde lama yang disinyalir dilatarbelakangi oleh jap – jap politik aliran ideologi. Era tahun 67 yang mengklaim agenda pemerintahan nasional dengan nama orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada mulanya cukup memberikan angin segar perubahan. Soeharto tampil sebagai presiden yang mampu meyakinkan rakyat untuk tetap berdiri tegap menyongsong masa depan yang lebih baik. Pembangunanisme yang menjadi platform pemerintahannya pun terbukti mampu memanjakan perut rakyat sehingga Soeharto semakin dikultus rakyat karena memang pada era sebelumnya rakyat Indonesia belum pernah merasakan euforia swasembada pangan. Suksesnya Soeharto meninabobokan ekonomi rakyat malah membuat syahwat politiknya semakin menjadi – jadi yang pada akhirnya dapat berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Spirit militer Soeharto yang mewarnai pemerintahannya saat itu perlahan disadari oleh rakyat sebagai bentuk penindasan atas hak – haknya. Soeharto memimpin dengan cara yang otoriter, sehingga banyak terjadi pelanggaran HAM seperti “petrus” yaitu penembakan misterius terhadap orang – orang yang mengkritisi pemerintah, penculikan dan pembunuhan terhadap jutaan orang yang dituduh sebagai subversif komunis padahal belum tentu orang itu komunis sehingga mengakibatkan banyak orang yang kehilangan anggota keluarganya, juga Pembredelan pers dan terpasungnya kebebasan berpendapat dan berserikat yang pada gilirannya mengkebiri idealisme rakyat khususnya kaum muda untuk dapat berbuat banyak terhadap negerinya. Otoriterianisme dan oligarkinya pemerintah orde baru telah memutus kaderisasi dan menciptakan “gap” untuk munculnya kembali pemimpin progresif transformasional. Terlalu lamanya Soeharto dan kroninya berkuasa tidak memberikan porsi yang cukup bagi kaum muda untuk berkiprah secara nyata di kancah nasional walaupun pada akhir hayat kekuasaanya Soeharto dan kroninya dapat ditumbangkan oleh heroisme pergerakan nasional pemuda ’98 (yang masih dipertanyakan orisinilitas gagasan pergerakannya apakah mereka sebagai alat para politisi senior saat itu ataukah benar – benar gagasan murni mereka kaum muda ???).
Krisis moneter 1998 dan ulah rezim Soeharto yang menyulut banyak kerusuhan sepanjang Mei 1998 semakin memuncakkan amarah rakyat yang akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden setelah gerakan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR yang menuntut pengunduran diri Soeharto dan kroninya. Genderang reformasi pun menggema di seantero Indonesia sebagai tuntutan rakyat yang menginginkan perubahan. Mulai saat itu kran – kran demokrasi dibuka untuk menjaring aspirasi rakyat yang akan mengisi agenda reformasi, seperti tuntutan untuk mengamandemen UUD 1945, perlindungan dan peradilan atas pelanggaran HAM yang dilakukan orde baru, penghapusan dwifungsi ABRI, dan pencabutan asas tunggal pancasila.
Beginilah mainstream politiknya,....
Agenda reformasi telah menciptakan iklim tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam kehidupan berdemokrasi yang lebih terbuka. Dengan maksud sebagai alat untuk memadanikan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kini masyarakat cukup leluasa untuk menyuarakan pendapat maupun untuk berserikat sesuai dengan aliran politik masing – masing secara konstitusional. Dan oleh karenanya banyak bermunculan partai politik , ormas, LSM dan organisasi - organisasi baru lainnya dengan platform yang relatif berbeda. Kenyataan seperti ini secara langsung telah memberikan warna – warni di era reformasi ini yang menujukkan begitu pluralnya gagasan yang dibangun masyarakat.
Jika kita mengamati nuansa perpolitikan sepanjang sejarah Indonesia barangkali kita dapat menyimpulkan bahwa, Pertama, sejak orde lama perpolitikan Indonesia saat itu begitu dinamis mengingat saat itu memang merupakan fase yang mengkonsentrasikan pada stabilitas politik kenegaraan. Jargon revolusi menjadi cita para “The founding fathers and mothers” dalam usaha membangun negara. Dan dalam kehidupan berdemokrasinya pun kita kenal dengan demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin yang dalam pelaksanaannya masih mampu memberikan pendidikan politik yang positif bagi masyarakat khususnya pemuda saat itu (rakyat masih dipertontonkan aksi – aksi politik heroik) .Kedua, yaitu orde baru dengan klaim demokrasi pancasilanya dan pembangunanisme sebagai konsentrasi utama (dengan dana pinjaman dari asing) ternyata masih terdapat cacat dalam kebijakanya. Saat itu orde baru begitu represif sehingga rakyat khususnya kaum muda kurang diberikan ruang gerak yang cukup untuk menyalurkan ide – ide kreatifnya.Ketiga, yaitu era reformasi sekarang ini yang dimulai sejak tahun 1998 dan disambut dengan penuh haru biru sekaligus euforia karena tumbangnya rezim korup dan represif Soeharto. Banyak harapan besar rakyat di era reformasi sejak 1998 tidak lain adalah kesejahteraan dalam berpolitik dan bebas dari krisis berat yang mengancam indonesia saat itu. Reformasi yang seyogyanya merupakan sintesa dari tesis demokratisasi era orde lama dan semangat pembangunan di era orde baru sebagai antitesisnya ternyata belum bisa terwujud. Penerapan demokrasi saat ini sayangnya tidak dibarengi oleh kesejahteraan sandang, pangan , dan papan bagi rakyat.Dengan kata lain, demokrasi sekedar dijadikan sebagai alat bagi rakyat untuk berteriak kelaparan sedangkan bagi para elit untuk politik keserakahan.sungguh ironis bukan ?!!.
Sebagaimana data dari Lingkar Survey Indonesia (LSI) pada awal Mei 2008 bahwa perbandingan kondisi saat ini dibandingkan sebelum reformasi, yang paling dominan justru 58,30 % menjawab lebih baik pada saat orde baru sedangkan yang menjawab kondisi saat ini lebih baik hanya 15.51 % saja. Angka – angka tersebut mencerminkan bahwa agenda reformasi belum menyentuh apa yang menjadi harapan rakyat. sehingga ironisnya, demokrasi telah menjadi boomerang sendiri bagi bangsa ini ditengah-tengah kondisi rakyat yang semakin memprihatinkan yaitu dengan semakin banyaknya kerusuhan , kriminalitas , dan anarkisme – anarkisme lainnya sebagai dampak demokrasi yang tak berkeadilan.
Demokrasi hanya dinikmati oleh elit – elit kapitalis yang serakah akan kekuasaan yang pada prakteknya hanya mengakomodir kepentingan para stakeholder- stakeholder politik (transaksional). Sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa orang (apapun latar belakangnya) yang ingin maju dan terpilih menjadi pejabat publik wajib memiliki dana yang besar sebagai amunisi politiknya yang kemudian dana tersebut digunakan untuk kampanye (sablon kaos, cetak pamflet ,konsumsi ,sewa panggung, dan bayar artis),sekaligus santunan konstituen (uang pelicin), karena jika hanya mengandalkan janji – janji dan tampang saja maka sulit untuk dipilih rakyat. Hal ini sangat logis dilakukan ditengah kesulitan hidup rakyat, yaitu berpikir pragmatis untuk bagaimana caranya memperoleh uang (sogokan untuk rakyat) sedangkan mengenai kualitas calon tidak perlu dipermasalahkan.
pragmatisnya sistem politik kita sekarang ini pada akhirnya hanya menghasilkan “politisi” bukan “negarawan”. Dikatakan demikian karena politisi hanya membawa kepentingan golongan tertentu yang merupakan hasil transaksi (deal – deal politik) dengan para stakeholdernya. Sedangkan untuk seorang negarawan yang berangkat dari kemirisan atas kondisi bangsanya dan menawarkan kualitas kepemimpinan (yaitu kaum muda saat ini) sangat sulit untuk muncul kepermukaan karena sistem mengandalkan cost politik yang mahal. Idealisme mereka dibungkam dan disisihkan oleh para politisi – politisi tua karbitan yang muncul dilingkaran setan kekuasaan (untuk tidak mengatakan parpol) semata-mata hanya untuk “berkuasa” bukan untuk “memimpin”. Partai politik sebagai mesin dan kendaraan politik terbukti tidak bisa menelurkan pemimpin – pemimpin harapan sebagai akibat semakin pragmatisnya kaderisasi partai. yaitu dengan tidak melakukan kaderisasi secara objektif (tidak atas dasar kekeluargaan / dinasti ketokohan) yang memberikan kesempatan bagi kader – kader pemimpin muda kompeten untuk berbuat lebih besar terhadap negerinya. Kader – kader muda yang berkecimpung langsung di partai politik masih berada di garis luar dan hanya dijadikan pemanis parpol ataupun tameng untuk menutupi itikad picik para oportunis. Yang pada gilirannya (sebagaimana kesaksian para politisi muda) idealisme kaum muda yang berada dilingkungan parpol pun mudah tergadaikan akibat pengaruh politik transaksional yang membudaya kuat dan menjadi tuntutan di lingkar kekuasaan. Sanggupkah kau memenangkan pergulatan ini kawan,..???

Hadapilah,...!!
keadaan seperti ini terlebih krisis multidimensional yang menimpa bangsa kita tidak bisa dibiarkan berlangsung. Harus ada langkah – langkah praktis agar harga diri umat dan bangsa kembali mulia,. Kini, mungkin pergulatan utama kita masih di tataran kampus dan sekitarnya tapi yakinilah bahwa ini merupakan fase bagi kita sebagai suatu gerakan untuk lebih memantapkan kapabilitas gerakan pemuda untuk bisa mendobrak segala kamuflase politik yang sedang terjadi di negeri ini .Tugas kita merupakan tugas terberat disepanjang sejarah pergerakan nasional, kita tidak hanya dituntut untuk menjadi pemimpin nasional yang mampu menggugah nurani rakyat sendiri tetapi juga di era globalisasi ini harus siap untuk mengendalikan dunia. Janganlah kau sesekali berputus asa kawan, karena problematika yang dihadapi Indonesia merupakan rangkuman dari semua problematika di dunia, hal ini mengindikasikan bahwa memperbaiki Indonesia dengan tingkat kesulitannya yang kompleks berarti sedang melatih diri kita untuk memimpin dunia. Tugas kita sekarang adalah melatih diri kita menjadi pemimpin muda pembawa perubahan dimanapun dan dalam posisi apapun. kita tingkatkan ketakwaan ,produktifitas dan kontribusi kita di berbagai segi dan segmen di Indonesia. ya,,, dari Indonesia. biarkanlah hukum alam (sunatullah kauniyah) bekerja sesuai dengan ketentuannya. Biarkanlah mentari peradaban itu terbit dari timur, insyaAllah kita adalah pemimpin transformasional itu kawan,.bersiaplah..!!!
Referensi :
Website Lingkar Survey Indonesia : http://www.lsi.co.id/
Imam , Rijalul (2008).Menyiapkan Momentum.Jakarta: Muda Cendikia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar