oleh Firman Nugraha Mahasiswa FH UNSOED (Kader KAMMI Komisariat Thoriq bin Ziyad)
Suatu keheranan yang sedari dulu hinggap dibenak saya adalah klaim sebagian kelompok orang yang menyatakan bahwa Demokrasi selalu kontradiktif dengan Islam. Demokrasi menurut mereka tidak akan pernah sinergis, tidak pernah cocok ,atau bahkan tidak memberi manfaat sedikitpun bagi Islam sebagai suatu sistem hidup (manhajul hayyah) umat manusia di dunia. Menurutnya, itu adalah sistem barat , produk thagut , sehingga umat Islam harus menolak sepenuhnya (tanpa diskusi) apapun yang beraroma demokrasi. Pertanyaan yang bisa diajukan oleh para intelektual muslim ialah, apakah Islam memang mengenal konsep mengenai negara yang bersifat khas? Apakah benar pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa Islam menentang demokrasi?.
Secara fakta empiris dalam sejarah peradaban Islam sendiri tidak pernah ada doktrin atas suatu sistem kenegaraan yang baku dan final . Yang kemudian menurut Nurcholish Madjid menyatakan bahwa ajaran islam jelas mengandung prinsip – prinsip ajaran islam yang demokratis. Tulisan ini hendak me-refresh inti sari pemikiran analitis begawan Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. yang menyandingkan Islam dengan Negara Hukum Konstitusional sebagai suatu sistem yang kompatibel dan oleh karenanya menurut penulis sangat menarik sebagai bahan sanding dialektika pembaca dalam menyelami samudera intelektual yang tiada batas ujungnya ini.
Dalam memandang sesuatu hendaknya kita jangan sampai menggunakan persfektif kaca mata kuda. Salah satunya dalam menilai sistem demokrasi. Kita harus memahami benar dan komprehensif bahwa sebenarnya konsep demokrasi sendiri harus dibedakan antara pengertian pada zaman modern sekarang dengan pengertiannya yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejak dari Zaman Yunani Kuno. Pada mulanya di zaman Plato dan Aristoteles, Demokrasi sendiri dipandang bukan sebagai suatu sistem yang ideal sedangkan yang dianggap ideal di Zaman Yunani Kuno adalah sistem plutokrasi (pemerintahan oleh kaum hartawan / kapitalis). Bahkan dalam bukunya Plato, “Republics” dan “Nomoi” (The Laws) yang berisi impian-impiannya tentang negara ideal itu. Malahan muncul istilah “The philosophers King”dan “Nomocration. Sedangkan demokrasi menjadi wacana yang amat dihindari karena dianggap suatu konsep yang buruk.
Stigma negatif yang tersemat dalam pengertian demokrasi menjadikan demokrasi teralienasi dalam dialektika konsep – konsep ideal negara dalam sejarah. Hingga berkembangnya Islam di Timur Tengah pada abad ke – 7, istilah demokrasi belum juga dikonotasikan positif. Bahkan, sampai abad ke 7 M itu, dalam sejarah politik umat manusia belum dikenal adanya sistem pergantian kekuasaan tidak dengan berdasarkan hubungan darah. Namun sejak nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT dan mendapatkan kepercayaan warga untuk memimpin jamaah kaum yang beriman dalam bermasyarakat dan berorganisasi. Sejak inilah muncul preseden baru, bahwa dalam hal memilih pemimpin tidak melulu dari kalangan kerajaan sebagaimana tradisi sebelumnya yang menganut sistem dinasti. Nabi Muhammad bukanlah keturunan nabi atau rasul sebelumnya laiknya nabi Ismail , nabi Ishak dan sebagainya, pula bukan keturunan keluarga kerajaan yang berkuasa, tapi ia hanyalah orang dengan strata sosial biasa yang terpilih sebagai nabi dan Rasul yang kemudian atas kesuksesan usaha dakwahnya terpilih juga untuk memimpin masyarakat Madinah. Dan atas kepemimpinannya yang elegan berhasil mengembangkan jumlah jamaahnya dan ruang garapan teritorinya yang semakin meluas ke luar kota Madinah. Dari fakta empiris ini, maka dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad lah yang lahir menjadi pemimpin pertama organisasi kekuasaan (negara) yang tidak berdasarkan keturunan darah atau dinasti.
Nabi Muhammad secara objektif diakui sebagai pemimpin oleh rakyatnya merupakan konsekwensi atas adanya “Social Trust” yang timbul dari pengalaman praktik pergaulannya yang menunjukan jiwa kepemimpinan dalam bermasyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa beliau digelari “al-amin” yang jauh sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Rassul oleh Allah SWT, kepercayaan itu tumbuh dan berkembang tidak saja dari kalangan pengikutnya yang mukmin tetapi juga dari kalangan tidak beriman pun meyakini bahwa Muhammad adalah orang yang terpercaya. Hingga ketika menjadi pemimpin Madinah, nabi Muhammad tidak hanya didaulat menjadi pemimpin oleh kaum muslim saja, tetapi juga oleh semua kalangan yang sama – sama mengikatkan diri dalam kontrak bersama, Piagam Madinah.
Kemudian, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, disini timbulah masalah mengenai mekanisme pergantian kepemimpinan yang akan menggantikan beliau selanjutnya. Terlebih Al Quran dan sunah Rasul pun sama sekali tidak memberikan pedoman teknis tata cara suksesi kepemimpinan yang baku (paten). Yang kemudian para sahabat rasul pun harus berijtihad dan berkesepakatan bersama dalam menentukan tata cara memilih pemimpin.
Dalam catatan sejarah, mekanisme pengangkatan atau pemilihan Khalifah Abubakar Siddik ternyata berbeda dengan cara pemilihan Khalifah Umar ibn Khattab. Demikian pula pada pergantian dari Khalifah Umar ke Khalifah Usman ibn Affan dan dari Usman ibn Affan ke Ali ibn Abi Thalib jelas menunjukan mekanisme pemilihan atau pengangkatan yang berbeda – beda, belum memiliki pola yang tetap. Namun yang pasti, dalam pergantian Kekhalifahan (khalifaurrasyidin ) dari Abu Bakar hingga Usman jelas tidak berdasakan atas sistem keturunan atau dinasti. Sedangkan sistem dinasti baru muncul kembali sesudah kepemimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sofyan yang diteruskan oleh puteranya.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa Muhammad adalah pemimpin pertama yang lahir dari praktik demokrasi dalam sejarah umat manusia. Sesudah itu, adalah Abubakar Siddik yang kemudian dibai’at oleh para sahabat yang dimotori oleh Umar bin Khattab untuk bertindak sebagai pemimpin pengganti nabi, atau disebut “khalifatu al-rasul” atau pengganti rasul. Sistem “bai’at” itu jika kita dalami pengertiannya, tidak lain merupakan mekanisme pemilihan umum atau pemilihan demokratis seperti yang kita kenal di zaman modern dewasa ini. Ketika Khalifah Abubakar Siddik wafat, maka ia digantikan oleh Umar ibn Khattab yang dipilih secara musyawarah oleh “ahlul halli wal ‘aqdi” yang terdiri atas beberapa orang sahabat. Para sahabat yang duduk dalam keanggotaan “ahlul halli wal ‘aqdi” itu tak ubahnya sebagai lembaga perwakilan seperti yang kita kenal dewasa ini. Dari kedua pola pemilihan khalifah rasul, yaitu Khalifah Abu bakar Siddik dan Khalifah Umar ibn Khattab tersebut, kita dapat merumuskan adanya sistem pemilihan langsung dan sistem pemilihan tidak langsung atau perwakilan yang dipraktikkan di masa awal pertumbuhan Islam.
Lebih jauh lagi , dalam praktik kepemimpinan Rasulullah , dikenal pula adanya prinsip permusyawaratan yang digunakan nabi dalam setiap proses pengambilan keputusan dalam setiap urusan publik. Di luar urusan wahyu dari Allah SWT , Nabi Muhammad dikenal tidak pernah mengambil keputusan apapun juga kecuali melalui musyawarah dengan para sahabat, hingga mengundang tokoh – tokoh yang berasal dari beragam kabilah , suku – suku yang bersangkutan dengan perkara syuro. Oleh karenanya mekanisme permusyawaratan yang dilakukan nabi dengan para stakeholder-nya dapat kita ibaratkan laiknya lembaga legislatif (DPR) dalam sistem demokrasi modern yang menyuarakan aspirasi golongannya masing – masing untuk dirumuskan dan disepakati bersama sebagai suatu kebijakan publik demi kepentingan bersama.
Dalam sistem sosial Islam, sistem permusyawaratan menempati posisi penting. Alasan konseptualnya jelas, karena Islam sangat menekankan kedudukan setiap manusia sebagai pribadi yang otonom, yang secara individual memperoleh predikat ‘khalifah’ Allah di atas muka bumi. Yaitu , bahwa manusia dipandang sebagai pemimpin atau wakil Allah untuk mengolah dan mengelola kehidupan d muka bumi. Manusia sebagai pribadi yang otonom adalah berkesamaan atau bersifat egaliter dengan manusia lainnya, Oleh sebab itu, dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan yang sama, semua orang harus diperlakukan sama (equal treatment), tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras dan kesukuan. Bahkan, diskriminasi juga dilarang atas dasar perbedaan jenis kelamin maupun perbedaan keyakinan beragama.
Karena alasan demikian itulah prinsip musyawarah menjadi sangat penting. Keputusan untuk kepentingan bersama wajib diambil melalui mekanisme permusyawaratan (demokrasi prosedural). Karena dengan demikian, beragam pandangan dan spektrum kepentingan dapat diperbincangkan bersama untuk mencapai suatu keadilan putusan (demokrasi subtantif). Karena itu, prinsip permusyawaratan yang ditekankan dalam tradisi islam justru menggambarkan konsep ideal dari sistem demokrasi yang sebenarnya yaitu sebagaimana yang dipahami dalam sistem modern sekarang ini.
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah SWT yang bersifat otonom dalam kehidupannya dapat kita kaitkan dengan pengertian kedaulatan rakyat (kedaulatan manusia) dalam mengurus dan mengelola kahidupan bersamanya. Semua manusia diciptakan sama dan semuanya menyandang status sebagai khalifatullah. Karena itu, prinsip ke-Maha-kuasaan Tuhan dalam praktiknya dapat terjelma dalam prinsip kedaulatan manusia alias kedaulatan rakyat. Artinya, pemahaman agama tentang kekuasaan tertinggi Allah SWT tidak perlu dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat (solus populis) atau demokrasi. Hal ini sebagai konsekwensi status manusia sebagai mahluk yang otonom (khalifatullah), maka muncul adagium “Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Adagium ini jangan sampai ditafsirkan seolah – olah rakyat dipertuhankan atau rakyat diidentikkan dengan Tuhan. Adagium tersebut haruslah dipahami dalam maknanya yang bersifat simbolik bahwa suara rakyat itu merupakan penjelmaan konkrit dari suara Tuhan Yang Maha Berkuasa atas manusia.
Tentunya, praktik permusyawaratan Nabi Muhammad dan para sahabat di zamannya tidaklah disebut dengan istilah demokrasi seperti sekarang ini. Mengingat konsep demokrasi sejak zaman Yunani Kuno belum dipandang sebagai konsep yang positif dan ideal. Justru demokrasi memperoleh pengertiannya yang ideal muncul sejak praktik kepemimpinan Nabi Muhammad yang kemudian setelah praktik selama berabad – abad dalam sejarah politik Islam tersebut (abad ke-13) demokrasi tampil sebagai sistem yang diyakini ideal dalam sejarah modern(barat). Artinya,demokrasi secara istilah adalah dari Yunani Kuno , tetapi secara subtansi menemukan konsep idealnya atas pengalaman praktik kepemimpinan Nabi Muhammad. Tidak dapat tidak , kita harus mengakui bahwa sebenarnya Islam lah yang justru pada awalnya mempelopori dipraktikannya ide –ide dan prinsip demokrasi yang dikenal di zaman modern dewasa ini.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad merupakan orang pertama yang mempraktikkan sistem permusyawaratan berdasarkan sistem perwakilan antar suku dan kabilah serta antar kalangan warga dalam mengambil keputusan-keputusan penting menyangkut pelbagai kepentingan bersama.
Orang Islam yang menolak ide demokrasi dewasa ini jelas karena mereka ahistoris atas perkembangan peradaban. Mereka memberi makna yang salah kepada istilah demokrasi itu sendiri yang secara simbolik dianggap mewakili atau mencerminkan pandangan yang berasal dari peradaban barat. Padahal istilah demokrasi itu sendiri bukan berasal dari mana-mana. Dalam pengalaman praktik di barat sendiri, yaitu di Yunani kuno, perkataan demokrasi itu justru pada mulanya tidak dianggap positif dan ideal melainkan sangat negatif dan buruk. Konsep demokrasi baru dipandang baik dan ideal karena ditemukannya pelbagai ide dan prinsip dalam praktik di sepanjang sejarah umat manusia sejak zaman awal perkembangan Islam yang kemudian dianggap tepat untuk disebut dengan istilah demokrasi.
Dan kini , trend peradaban membuktikan bahwa dalam pergaulan umat manusia di zaman sekarang tidak ada lagi bangsa (untuk tidak menyebut tidak ada lagi orang) yang dalam praktik kehidupannya tidak mempraktikan paham demokrasi. Negara-negara besar anggota Organisasi Konferensi Islam juga sebagian besar telah mengadopsikan ide-ide dan prinsip-prinsip demokrasi itu dalam praktik sistem ketatanegaraan masing-masing. Negara-negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia, Turki, Pakistan, Tunisia, Mesir, Libya dan bahkan Iran cukup berhasil dalam menerapkan sistem demokrasi itu dalam praktik. Tidak dapat disangkal, demokrasi dan hak asasi manusia sudah menjadi bahasa dunia, bahasa pergaulan antar bangsa dan negara, yang seolah menjadi kebutuhan mendasar (basic needs) umat manusia. Karena itu , dari pada tergopoh – gopoh menolak paham yang sudah menjadi milik dunia, alangkah jauh lebih produktif bagi siapapun untuk ikut serta berlomba – lomba (fastabiqul khairrat) memberikan makna yang tepat dan benar terhadap konsep demokrasi sebagaimana fitrahnya demokrasi yaitu laiknya yang dipraktikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Tidaklah salah bagi kaum muslim untuk berpaham demokrasi, karena subtansi demokrasi sendiri sejatinya sangat sesuai dengan ajaran – ajaran Islam. Malahan kita dapat berkesimpulan bahwa Islam lah yang justru pertama kali menumbuh-suburkan praktik positif dan ideal mengenai apa yang kemudian hari dinamakan orang dengan demokrasi. Karenanya Islam itu sangat demokratis, demokratis itu sangat Islamis. Kiranya tidak bijak bagi para intelektual muslim berpandangan laiknya menggunakan kacamata kuda dalam memahami demokrasi. Yaitu dengan berpandangan dari suatu sudut pandang tertentu saja sehingga tersimpulkan bahwa demokrasi itu sepenuhnya madharat. Bagaimanapun demokrasi kini sudah menjadi milik bersama umat manusia di dunia (mainstream), oleh karenanya demokrasi sangat mungkin mutitafsir, sesuai paham masing - masing. Menolak total demokrasi merupakan suatu sikap yang naif dan (bisa dikatakan utopis). Jauh lebih cerdas adalah bagaimana para intelektual muslim merevitalisasi tafsir demokrasi sebagaimana konsep sejati demokrasi yang dipraktikan sang revolusionis alam nabi Muhammad SAW.
wallahu'lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar